Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang
ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung
pergerakan ini sering disebut Wahhabi, namun mereka lebih memilih
untuk menyebut diri mereka sebagai Salafisatau
Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".
Genealogi
Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif
at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini diperoleh silsilah
keluarganya.
Biografi
Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali dakwah
tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan
para sahabat. Para pendukung gerakan ini menolak disebut Wahabbi,
karena pada dasarnya ajaran Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb adalah ajaran Nabi
Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau
Muwahhidun yang berarti "Mengesakan Allah".
Istilah Wahhabi sering
menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal usul dan kemunculannya dalam
dunia Islam. Umat Islam umumnya keliru menilai mereka dan menyangka bahwa
mazhab mereka mengikuti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya saja,
al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl
al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dan adapula yang menghubungkan mereka dengan gerakan
teroris, padahal ajaran mereka sangat anti teroris.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya
dihubung-hubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu ayahanda penggagas gerakan
ini, Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, istilah Wahhabi ini
tidaklah sah dinisbatkan untuk nama suatu kelompok, karena sejatinya nama Wahhab adalah
nama hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri mereka
sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians) karena mereka ingin
mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara beragama menurut
sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan masyarakat. Dia mengikat perjanjian
dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai
kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik,
sementara Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat
ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh
keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd),
lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab
Saudisekarang. Dia tumbuh
dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh
agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya adalah seorang qadhi
(mufti besar), sumber rujukan di mana masyarakat Najd menanyakan
segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya
keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb sejak masih kanak-kanak
telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh
ʿAbd al-Wahhāb. Berkat bimbingan orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak
dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb berhasil menghafal 30 juz
al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Setelah itu, dia diserahkan oleh
orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya
untuk belajar ke luar daerah
Saudara kandungnya,
Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad.
Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia
dewasa, Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb diajak oleh ayahnya untuk
bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan
rukun Islamyang kelima - mengerjakan haji di Baitullah.
Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah
sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba
ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaituSyeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Kehidupannya di Madinah
Ketika berada di kota
Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat
dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh
agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat
bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta
selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh
Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, akan
berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid),
jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.
Belajar dan berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama
menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini dia bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu yang diperolehnya,
terutama di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika
(ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota
ini.
Syeikh Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana dia bermukim dan
untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar,
karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung
dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb
bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang
menuduhnya sesat. Akhirnya dia meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa
negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama,
lalu dia kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang ilmu
tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana dia bermukim
beberapa waktu, kemudian kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/
1726M, ayahandanya pindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan
ayahandanya sambil menuntut ilmu dari ayahnya. Tetapi dia masih meneruskan
tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang
menyebabkan ayahnya gusar karena banyak tekanan dari beberapa ulama yang takut
kehilangan jama'ahnya. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga pada tahun
1153H/1740M, ayahandanya meninggal dunia.
Perjuangan memurnikan aqidah Islam
Sejak dari itu, Syeikh
Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak
hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat
islam saat itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat
.
Melihat keadaan umat
islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah
barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan
memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini
kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul
Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah
oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan
Syeikh Muhammad, bahkan dia berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan
tersebut.
Suatu ketika, Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan
sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab.Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut
pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab
"Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang
mulia ini." Tetapi Sdia khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi
oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600
orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan
maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang
mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika
menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah
suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana
terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan
tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka
anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh
karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah
makam dia, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya.
Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas
bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh
Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam
yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk
mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat
Islam setempat.
Berita tentang
pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di
luar Uyainah.
Ketika pemerintah
al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan
pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan
peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil
mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk
membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir
Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin
mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan
Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir
Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah
Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang
berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin
Baz, dia berkata:
"Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan
lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan
negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan
kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri
Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam
hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga
tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat
dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun
setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari
percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat
dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian,
tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk
meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar
dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.
Kehidupannya di Dir'iyyah
Sesampainya Syeikh
Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat
kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh
menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal
soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal
bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada
awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan
sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan
dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah,
yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah
Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah
ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa
setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk
melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta
menjelaskan maksud dan tujuannya kepada dia. Namun mereka gagal menemui Amir
Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada
amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke
rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada
suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda
dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru
dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh
kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu
untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda
menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang
sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya,
atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat
kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya
tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa
sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad
bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda
bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana
Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di
rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan
salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh!
Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda
di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin
keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada
masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang
anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan
nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah
dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini,
Insya Allah!"
Kemudian Syeikh
menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri
ini akan diberkati Allah Subhanahu wa
Taala. Kami ingin mengajak
umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini,
nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan
ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir
(penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya
saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung
sendiri yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia
sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan
RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud
itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu
dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di
kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di
negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke
Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah
penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai
membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang
menjadi modal utama bagi perjuangan dia yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an,
tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya
(nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang
singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak
mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke
negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang
bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah dia begitu
membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain.
Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat
dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang
dipimpin oleh dia sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid
demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka
masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najd.
Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa
di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syeikh menempuh
pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan
masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, dia juga tidak
mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu dia berdakwah
dengan besi (pedang).
Maka Syeikh
mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya
adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada
para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya
itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat
itu, dia menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam
negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat hubungan surat
menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah
menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga dia disegani di antara kawan dan
lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri,
dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh
dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak
para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan
dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka
memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Demikian banyaknya
surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama baik di dalam dan luar
Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir
ini semua tulisan dia yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang
dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh
pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (pada masa
mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu
dia serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang
telah mewarisi ilmu-ilmu dia. Di masa kini, tulisan-tulisan dia sudah tersebar
luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan demikian,
jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan
pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh
penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dir'iyyah juga
menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan
membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan
yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam
sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal
ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban
manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari
luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama
Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan
jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh
dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah
dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim
pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk
menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh
Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang
ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan
sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya.
Dia dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam
Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin
Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Dia dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah
Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309
H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama
menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang
didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi
sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.
Selain mendapat
perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh
kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya.
Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan
pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah
Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak
muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di
tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, dia
ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Selain perlawanan
sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para pengikut dakwah Syaikh Ibnu
Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris yang menjajah
banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk
penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab dia
menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik
dan bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di
situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali
kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah, niscaya mereka
akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan
istilah 'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka
lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum
muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan
serta merta membenci mereka.
Alhamdulillah,
masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang apa dan
siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab
(yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan
kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama
umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini
terungkap.
Meskipun usaha
musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam yang
dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun
usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd
saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat
benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan
pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh
pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan
sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari
kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa
kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai
fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah
menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya
membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu
menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta
menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan
difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh
seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah
al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya
tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri
dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim
dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya dia menulis bahwa
semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh
membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai
mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah
risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhabAhli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para
Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai
hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian
agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau
orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
`Abdullah bin Muhammad
bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa
hasil karya ayahnya, Syeikh
Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut:
"Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah
wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf.
Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami
cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu
daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab
kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah,Imamiyah dan lain-lain
lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah
kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat
tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke
tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang
pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan
demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash
yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami
periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang
mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta
dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami
meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang
menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian
mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi
tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya dia berkata: "Adapun
yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi
dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan
berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa
mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama,
menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan
`bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan
bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak
mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada
kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna "La ilaha
illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi:
"Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di
Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para
ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena
didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang
yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami
juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang
sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga
ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa
kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula,
jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu
akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau
hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak
mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu
'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa
seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk
diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat
derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan
yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami
katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka
- Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena
itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi,
mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa
mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami,
maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami
yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari
menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah
dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa
seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap
seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’
dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah
keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap
bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s
475)
Khusus tentang Nabi
Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata:
"Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi
wassalam bahwa martabat dia itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara
mutlak. Dan Dia itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada
kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Dia itu
lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya.
Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh
hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid
Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan
barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke
atas Nabi, selawat yang datang daripada dia sendiri, maka ia akan mendapat
kebahagiaan di dunia dan akhirat."
Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya,
seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu,
baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah
dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun
surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap
penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu
dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya.
Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari
surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah
diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak
termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh
di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat
ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di
madrasah-madrasah ketika dia memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun
permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
·
Permusuhan atau
tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
·
Atas nama politik yang
berselubung agama.
Bagi yang terakhir,
mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka
untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan
memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum
Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam
tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh
menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan dia
tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang
yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada
tiga golongan musuh-musuh dakwah dia:
·
Golongan ulama
khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu
haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan
sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah
dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu
adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari
perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka
menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh yang bererti
musuh mereka yang harus segera diperangi.
·
Golongan ulama taashub
yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja
terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan
pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah(kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat
kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap
Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan
memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka
mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan dia dituduh sebagai murtad.
·
Golongan yang takut
kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini
memusuhi dia supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang
berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana
hingar-bingarnya penentang dia.
Demikianlah tiga jenis
musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh
Syeikh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan
polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di
pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka
menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus
menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi pada masa hayat Syeikh sendiri,
akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini
juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang
meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang
dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah
perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya
dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa
Dar’iyah.
Dia pertama kali yang
mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita
ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang
mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami
kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah
itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka
kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak
lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai
objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan,
akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya
memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan
yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas
menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan
disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan
kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya
terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan.
Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan
batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak
mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi
(senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu,
besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata
api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi yang
pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat
besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan
dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah
lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan
kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai
akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran
agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi
orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang diperhambakan oleh hawa nafsunya,
mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka
diiring dengan senjata.
Demikianlah Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan,
pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam
pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh
Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158
Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
Wafat
Muhammad bin `Abdul
Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah.
Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan
berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah
Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, dia wafat pada
tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.
Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
Sumber : Wikipedia.