Kalau sudah diketahui
oleh para ulama bahwa masalah pembagian ini tidak ada asalnya, maka pembagian
ini adalah perkara bid'ah. Namun jangan bertanya: "Apa dalilnya kalau perkara
ini dikatakan bid'ah?" Justru kita yang bertanya apa dalilnya kalau perkara itu
sunnah?
Ada ucapan baik yang kami (penulis) dengar dari Syaikh
Muhammad Shalih Al- Utsaimin hafidhahullah ketika ditanya tentang suatu masalah:
"Apa dalilnya engkau mengatakan bid'ah?" Beliau menjawab, ”Dalilnya adalah tidak
adanya dalil”.
Adapun apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam bahwa ini
adalah pembagian yang bertentangan adalah karena tidak ada batasan yang jelas
bagi perkara-perkara yang dinamakan USHUL yang dikafirkan orang-orang yang
menyelisihinya dan apa perbedaannya dengan masalah FURU'.
Kalau mereka mengatakan
bahwa masalah-masalah ushul adalah masalah-masalah aqidah (keyakinan), sedangkan
masalah furu' adalah masalah-masalah amal lahir. Maka kita katakan: "Telah
berselisih para shahabat radliallahu 'anhum dan para ulama tentang apakah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Rabbnya atau tidak?" Bukankah
ini adalah masalah-masalah keyakinan dan masalah aqidah?
Apakah sebagian mereka
mengkafirkan yang lainnya? Tidak ada yang dikafirkan dalam masalah ini dengan
kesepakatan para ulama (Lihat pembahasan semakna dalam Fatawa 23/346).
Sebaliknya kewajiban-kewajiban shalat, zakat, puasa, hajji dan lain-lain,
bukankah ini masalah amal lahir? Tetapi orang yang menentang dan mengingkarinya
dikatakan kafir dengan kesepakatan ulama (lihat sumber yang sama hal.
347).
Kalau mereka berkata: "Sesungguhnya masalah ushul adalah
permasalahan- permasalahan yang qath'i (pasti dan tegas), sedangkan masalah
furu' adalah masalah-masalah yang dhanni (belum pasti). Maka kita katakan bahwa
masalah qath'i dan dhanni adalah masalah yang relatif. Banyak masalah-masalah
amal lahir yang qath'i dan banyak pula masalah-masalah i'tiqad yang dhanni.
Bahkan ada beberapa masalah yang qath'i bagi seseorang dan dhanni bagi yang
lain. Seperti ketika ada seorang yang mendengar nash dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam secara langsung dan dia yakin apa yang dimaksud oleh beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagi dia permasalahan itu adalah permasalah
yang pasti dan qath'i. Tetapi bagi orang lain yang tidak mendengar nash itu,
maka baginya dhanni pun tidak apalagi qath'i. Atau orang yang sampai kepadanya
nash dari orang yang dia tidak tsiqah (percaya) kepadanya, atau dia tsiqah
tetapi tidak mampu memahaminya, maka bagi dia tidaklah qath'i... dst. (Lihat
Fatawa 23/347).
Apalagi Mu'tazilah yang menganggap bahwa selain hadits
mutawatir adalah dhanni. Maka berarti kurang lebih dua pertiga syariat dianggap
tidak penting kemudian diremehkan atau dianggap furu' dan qusyur (kulit) yang
disisihkan kemudian dibuang? Na'udzubillah. Kita berlindung kepada Allah dari
kesesatan seperti ini!
Imam Al-Muhaddits
Syaikh Al-Albani hafidhahullah berkata: "...yang kita dengar tentang pembagian
ushul dan furu' dari setiap para da'i Islam pada hari ini yang tidak bermanhaj
dengan manhaj salafus shalih, sebagaimana telah kita sebutkan tentang pembagian
lubb (inti) dan qusyur (kulit) adalah corengan zaman yang akan menghancurkan
kaum muslimin dan menjadikan mereka jauh dari Islam ketika mereka menginginkan
untuk mendekat kepadanya!
Sekarang dengan TSAQAFAH (wawasan) yang kalian miliki
dan ilmu yang kami miliki, tidak dapat membedakan ushul dari furu'? Kecuali apa
yang mereka maksudkan dengan ushul adalah masalah yang berhubungan dengan aqidah
saja dan tidak masuk di dalamnya apa-apa yang berhubungan dengan
hukum-hukum.
Kalau begitu shalat yang merupakan
rukun kedua (dalam rukun Islam, pent) tidak termasuk dalam ushul dan hanya
termasuk dalam furu'? Mengapa? Karena shalat tidak termasuk dalam masalah aqidah
mahdhah!!! Pembagian ini (sungguh) berbahaya dan berbahaya sekali!!" (Dalam
kaset beliau Hifdhul Qusyur, lihat kitab Dharuratul Ihtimam Bis Sunnah oleh
Abdus Salam bin Barjas hal. 15-16).
Kesimpulan dari
pembahasan ushul dan furu' adalah sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah: "Setiap pembagian yang tidak diperkuat dengan
Al-Kitab dan As-Sunnah atau kaidah-kaidah syariat, maka ia adalah pembagian yang
batil dan wajib untuk dibuang. Pembagian ini adalah dasar dari dasar-dasar
kesesatan." (Shawa'iq Al-Mursalah 2/415, lihat kitab Dlaruratul Ihtimam hal.
112).
Setelah pembagian bid'ah ini mereka berkata: "Ikhtilaf
dalam masalah furu' adalah sesuatu yang remeh." Bandingkan dengan ucapan Imam
Malik rahimahullah ketika ditanya tentang suatu masalah, beliau menjawab: "Saya
tidak tahu." Berkatalah orang tersebut: "Ini permasalahan ringan dan mudah,
sesungguhnya aku hanyalah ingin memberi tahu amir." Maka marahlah Imam Malik
dengan ucapan ini dan berkata: "Masalah ringan dan mudah? Tidak ada dalam ilmu
ini (syari'at) permasalahan yang ringan! Tidakkah kau dengar firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al- Muzammil: 5)
Maka ilmu ini semuanya
berat, apalagi ilmu yang akan dipertanyakan di hari kiamat." (Tartibil Madarik
oleh Qadli Iyadl, lihat Dharuratul Ihtimam bis Sunnah hal.
117).
Ucapan mereka yang menganggap kecil sunnah ini membawa
para pemuda meremehkan fikih dan sinis kepada para ulama yang menulis buku
tentang masalah bacaan Al-Fatihah di belakang imam, sunnah dzikir setelah
shalat, bid'ah mihrab, dll. Pada akhirnya mereka bertambah jauh dari syariat
Islam, menyerukan perjuangan Islam dalam keadaan tidak tahu tentang hukum-hukum
Islam.
Di antara syubhat yang mereka lemparkan adalah ucapan
mereka: "Kaum muslimin dalam keadaan lemah dikuasai musuh-musuhnya. Sebagian
mereka dibantai, ditindas dan lain-lainnya. Tetapi dalam waktu seperti ini
muncul kaum yang menyerukan untuk berpegang kepada sunnah dan tenggelam di
dalamnya? Apakah mereka buta terhadap keadaan lingkungannya!" Kalimat ini
terucap karena pemahaman batil mereka yang menganggap bahwa berpegang dengan
sunnah bertentangan dengan perjuangan dan jihad membela kaum
muslimin.
Sesungguhnya hal itu sama sekali tidak bertentangan,
bahkan mendukung perjuangan dan jihad. Tidakkah mereka ingat hadits Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa tidak akan dicabut kehinaan
dan kerendahan, kecuali kalau kaum muslimin kembali kepada agamanya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Jika kalian telah
berjual beli dengan 'iinah dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi, kalian
ridla dengan ladang-ladang dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan
kuasakan (timpakan) atas kalian kerendahan hingga kalian kembali kepada Dien
kalian. (HR. Abu Dawud 3/740 dari Ibnu Umar)
Demikianlah beliau
menjelaskan bahwa kerendahan dan kehinaan akan menimpa kaum muslimin ketika
mereka meninggalkan hukum-hukum Allah termasuk di dalamnya jihad, tidak
memerangi kekufuran, kesyirikan, kebid'ahan dan ridla dengan dunia. Beliau juga
menjelaskan bahwa jalan satu-satunya untuk melepaskan diri dari kerendahan dan
kehinaan ini adalah kembali kepada syariat Dien ini. Beliau tidak membedakan
ushul dan furu'nya, qusyur atau lubabnya, aqidah atau ibadahnya dan
seterusnya.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam
Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah
syaithan karena sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagimu. (Al Baqarah:
208)
Berkata Ibnu Abbas: "As-Silmi adalah Islam dan kaffah
adalah keseluruhan." Kemudian beliau berkata mengenai tafsir ayatnya:
"...masuklah ke dalam syariat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan jangan
tinggalkan darinya sedikitpun." Berkata Mujahid rahimahullah: "Yakni, beramallah
dengan seluruh amalan-amalan dan seluruh kebaikan." (Tafsir Ibnu Katsir
1/265-266).
Jadi, kembali pada syariah dan mengamalkan seluruh
sunnah adalah jalan kemenangan.
Sumber: Majalah
Salafy edisi XIII, Sya'ban – Ramadhan 1417 H
0 komentar:
Posting Komentar