Bid'ahnya Pembagian Masalah Ushul dan Masalah Furu'
Demikianlah, mereka menjadikan sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai perkara furu', qusyur atau juz'iyyah.
Mereka selanjutnya menjadikan wawasan politik, fiqhul waqi', sifatul ashr, atau
tsaqafah Islamiyyah sebagai perkara ushul dan salah satu rukun Islam. Setelah
itu mereka menetapkan kaidah: "Kita wajib mementingkan perkara ushul dan jangan
disibukkan dengan perkara furu'."
Hal itu sebagaimana
ucapan tokoh mereka Abdurrahman Abdul Khaliq dalam kitabnya Al-Khutut
Ar-Ra`isiyyah hal. 73: "Sesungguhnya kewajiban para pembuat kurikulum di
universitas-universitas Islam yang hanya mengajarkan Dien saja adalah memasukkan
pengajaran undang-undang dan hubungan kenegaraan Islam secara luas berupa
penjelasan perbandingan antara Islam dengan kafir. Dan agar mereka mengurangi
sekecil mungkin pengajaran kepada para mahasiswa tentang adab buang air,
syarat-syarat air, dan madzhab para ulama terhadap orang yang mengatakan pada
istrinya: "Engkau kucerai talak satu, dua, atau tiga." Apakah dianggap talak
tiga atau satu? Ajarkan pada anak-anak kaum muslimin di universitas-universitas
hukum-hukum hadd dalam Islam terhadap pembunuhan, zina, minum khamr, pencurian
dan perampasan! Kemudian bandingkanlah kebersihan hukum Islam dengan kekotoran
hukum selainnya! Ajarkan hukum- hukum perdamaian, peperangan,
perjanjian-perjanjian damai dan undang-undang politik secara syar'i antara
pemerintah dengan rakyat dan antara negara-negara Islam dengan negara-negara
kafir! Tinggalkanlah pengajaran adab buang air bagi para pelajar, agar ibu-ibu
merekalah yang mengajari anak-anaknya sewaktu mereka berumur tiga atau empat
tahun! Buanglah pengajaran bab-bab haid dan nifas di universitas-universitas
bagi laki-laki dan cukupkan pengajarannya bagi wanita..."
Demikianlah ucapan
Abdurrahman Abdul Khaliq tentang idenya untuk lebih mementingkan hukum-hukum
politik kenegaraan di atas hukum-hukum fikih yang lainnya. Hingga kemudian dia
berkata: "Pada hari ini sayang sekali kita memiliki syaikh-syaikh yang hanya
mengerti qusyur Islam yang setingkat dengan masa-masa lalu, yang akan berubah
setelahnya aturan-aturan kehidupan manusia dan cara-cara hubungan mereka."
(Lihat Jama'ah Wahidah hal. 28-29).
Subhanallah! Apakah ada
dalam Islam ini istilah qusyur (kulit) yang disisihkan kemudian
dibuang?
Sesungguhnya pembagian Dien menjadi qusyur (kulit) dan
lubab (isi) atau ushul dan furu' untuk kemudian merendahkan, meremehkan, dan
mengesampingkan qusyur dan furu' adalah pembagian yang batil. Sebagaimana
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Al-Albani dan
para ulama lainnya. Anehnya, meskipun mereka namakan furu', namun ternyata
mereka tidak dapat menjelaskan dengan pasti definisi furu'/qusyur tersebut dan
mereka pun berselisih tentangnya.
Sebagian mereka berkata
bahwa ushul adalah perkara-perkara yang kalau ditinggalkan pelakunya menjadi
kafir. Sedangkan furu' adalah perkara-perkara yang kalau ditinggalkan pelakunya
tidak dikatakan kafir.
Dengarlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang
masalah ini dalam Fatawanya. Beliau berkata: "...Barangsiapa yang
sungguh-sungguh berusaha mencari yang hak namun dia keliru, maka Allah akan
mengampuninya apapun kesalahannya. Sama saja apakah dalam masalah teori keilmuan
atau praktek amalan. Inilah pendapat para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan jumhur para imam kaum muslimin. Mereka tidak membagi permasalahan
menjadi masalah ushul yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan masalah
furu' yang tidak dikafirkan orang yang mengingkarinya..."
Demikianlah Syaikhul
Islam menjelaskan bahwa pengkafiran tidak dilihat dari apakah yang ditinggalkan
itu termasuk amalan ushul atau furu' melainkan dalam masalah apakah dia
mengingkarinya dengan juhud (menentang dan menantang), karena keliru dan salah
dalam berijtihad, atau tidak mengerti. Kalau dia menentang sesuatu atau
meninggalkannya karena keliru atau salah dalam berijtihad, maka ia tidak
dikafirkan. Sama saja apakah dalam masalah-masalah yang dianggap furu' ataupun
masalah ushul.
Kemudian Syaikhul Islam berkata: "...pembagian suatu
amalan dengan nama USHUL dan macam yang lain dengan nama FURU' tidak ada asalnya
dari shahabat radliallahu 'anhum, tabi'in yang mengikuti mereka dengan ihsan,
tidak pula dari para imam kaum muslimin. Sesungguhnya pembagian ini hanyalah
diambil dari Mu'tazilah dan orang-orang yang semodel dengan mereka dari kalangan
Ahlul Bid'ah. Dari merekalah pembagian itu diambil, sehingga para fuqaha
menyebutnya dalam kitab- kitab mereka, padahal ini adalah pembagian yang saling
bertentangan." (Fatawa 23/346).
Adapun para fuqaha yang
mengambil istilah ushul dan furu' dalam kitab mereka tidak sama dengan
mu'tazilah dan hizbiyyun dalam dua hal:
a) Mereka memaksudkan dengan perkara furu' adalah
perkara ijtihadiyyah.
b) Mereka tidak
bermaksud merendahkan permasalahan tersebut dengan istilah furu'.
Semoga Allah merahmati dan mengampuni
kesalahan mereka.
Sumber: Majalah
Salafy edisi XIII, Sya'ban – Ramadhan 1417 H
0 komentar:
Posting Komentar