.

Kamis, 05 Februari 2015

Membela Sunnah Nabawiyah

20.56


(Bagian 4)
 
Sebagai jawaban terhadap kaum hizbiyun yang lebih mementingkan masalah politik dan para ulama FIQHUL WAQI', kami nukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjawab ucapan tokoh Syiah di atas. Beliau berkata: "Bantahan untuk ucapan ini ada beberapa sisi: 
 
Pertama, kita katakan: 'Orang yang mengatakan bahwa masalah imamah adalah perintah yang paling penting dalam hukum-hukum Dien dan permasalahan kaum muslimin yang paling tinggi adalah berdusta menurut ijma' kaum muslimin, sunni maupun syiah mereka. Bahkan merupakan kekufuran karena sesungguhnya iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah masalah yang lebih penting dari masalah imamah. Perkara ini sudah dimaklumi menurut aksioma agama Islam. Seorang yang kafir tidak akan menjadi mukmin, hingga mempersaksikan bahwa tiada yang patut diibadahi, kecuali Allah dan bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Karena perkara inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi kaum kuffar pertama kali sebagaimana diriwayatkan dengan khabar yang mustafidl dalam kitab-kitab shahih bahwa beliau bersabda:
 
Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka apabila mereka telah mengerjakan semua itu harta dan darah mereka akan terlindung dariku kecuali dengan haknya. (HR. Bukhari Muslim)
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepung dan intailah mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taubah: 5).
 
Demikian pula yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan kepada Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu ketika beliau mengutusnya. Juga tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berperang melawan orang-orang kafir, beliau menjaga darah mereka dengan taubat mereka dari kekufuran. Beliau sama sekali tidak menyinggung masalah imamah.
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman setelah itu:
Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (At-Taubah: 11)
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai saudara-saudara seagama dengan taubat. Karena sesungguhnya orang-orang kafir di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika masuk Islam, mereka akan diberlakukan hukum- hukum Islam, tetapi beliau sama sekali tidak menyinggung masalah imamah kepada mereka. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama yang menukil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara khusus maupun umum. Bahkan kita mengetahui dengan pasti bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menyebutkan kepada manusia ketika mereka ingin memasuki Dien-Nya tentang imamah, tidak secara mutlak tidak pula tertentu. Maka, bagaimana imamah dikatakan sebagai perintah yang paling penting dalam hukum-hukum Dien?!
 
Kedua, kita katakan: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya di setiap masa dan tempat selalu lebih besar dari permasalahan imamah. Oleh karena itu tidak pernah ada pada suatu waktu, imamah menjadi lebih penting dan lebih mulia. (Pernyataan ini cukup sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menganggap bahwa: "Pada masa mereka (ulama) imamah memang tidak penting karena sudah ada khilafah, tetapi sekarang imamah adalah perkara yang paling penting." Maka perhatikanlah dan ambillah pelajaran darinya! peny).
 
Ketiga, kita katakan: "Mestinya wajib bagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjelaskan hal ini kepada umat yang akan tetap ada setelah beliau wafat sebagaimana beliau telah menjelaskan masalah shalat, zakat, puasa, dan haji, sebagaimana beliau menentukan keimanan kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan keimanan kepada hari akhir..."
 
Beliau (Ibnu Taimiyyah) melanjutkan: "Juga merupakan sesuatu yang sudah diketahui bahwa perkara kaum muslimin yang paling mulia dan perintah-perintah agama yang paling penting seharusnya disebutkan dalam Al-Qur`an dengan penyebutan yang lebih besar dari yang lainnya. Begitu pula penjelasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya akan lebih mengutamakannya dari yang lainnya. Kenyataannya Al-Qur`an banyak sekali menyebutkan tentang permasalahan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, bukti- bukti kekuasaan-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, kisah-kisah, perintah dan larangan. (Namun) tidak seperti halnya masalah imamah. Maka, bagaimana mungkin Al-Qur`an penuh dengan perkara-perkara yang bukan perkara yang paling penting dan paling mulia?" (Minhajus Sunnah 1/21)
 
Mungkin ada yang mengatakan: "Bukankah imamah juga termasuk perintah dan larangan!!!" Kita katakan: "Kalaupun termasuk perintah, maka yang paling tinggi adalah seperti shalat, zakat dan lain-lain yang juga perintah-perintah Allah. Bagaimana mungkin hanya imamah saja yang dianggap sebagai permasalahan kaum muslimin yang paling penting dan paling mulia serta perintah Dien yang paling penting!" (Minhajus Sunnah 1/29)
 
Atau mungkin mereka mengatakan bahwa perkara imamah ini termasuk nash-nash umum dalam perintah-perintah hukum hadd seperti qisas bagi pembunuh, atau potong tangan bagi pencuri dan lain-lain, sehingga dengan kaidah:
Apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itupun wajib.
 
Berarti mendirikan imamah untuk melaksanakan hukum hadd adalah wajib!
 
Kita katakan: Bahwa inipun adalah alasan kuno yang sudah dibantah oleh Syaikhul Islam juga. Beliau mengatakan (secara ringkas): "Walaupun benar kaidah itu, namun paling tinggi dia hanya sebagai masalah-masalah istimbath yang kadang- kadang diistilahkan sebagai furu' oleh para fuqaha. Lalu bagaimana mungkin dijadikan sebagai rukun dari rukun-rukun Islam!?" (Minhajus Sunnah 1/33).
 
Bagi kita yang menyaksikan keadaan hizbiyyun pada hari ini akan mengetahui dengan jelas bahwa alasan mereka inipun perlu dipertanyakan. Karena seperti kita lihat dalam kenyataan, hukum hadd mana yang sudah ditegakkan dalam daulah Islamiyyah di Sudan, yaitu daulahnya Hasan At-Turabi yang sudah jelas sekularis!?
 
Sesungguhnya hukum-hukum hadd yang harus ditegakkan itu tidak hanya terhadap peminum khamr dan pencuri saja, tetapi juga terhadap para penyeleweng ajaran Islam dan kaum murtadin (orang-orang murtad). Maka bagaimana kira-kira kalau hizbiyyun berhasil memegang kekuasaan?! Mereka mesti akan mengatakan kepada para penyeleweng dan murtadin: "Kita tolong-menolong pada apa yang kita sepakati dan saling menghormati dalam perkara yang kita berbeda?!"
 
Barangkali pembaca terkejut karena kami juga menuliskan para murtadin di atas. Yah... paling tidak ini adalah apa yang kita saksikan sendiri dari ucapan Hasan At- Turabi yang membolehkan berganti-ganti agama. Dia berkata: "Dan aku suka untuk berkata bahwasanya dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian yang satu boleh bagi seorang muslim –sebagaimana boleh pula bagi seorang Nashrani- untuk mengganti agamanya." Innalillahi wainna ilaihi raji'un (Ucapan ini dia ungkapkan di Universitas Khurtum sebagaimana dinukil pula oleh Ahmad bin Malik dalam bukunya As-Sharimul Maslul fi Raddi 'ala At-Turabi Syatimi Ar-Rasul hal. 12, melalui kitab Aqlaniyyun oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 69).

 
Sumber: Majalah Salafy edisi XIII, Sya'ban – Ramadhan 1417 H

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 Cinta Islam As-Sunnah. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top