(Bagian 4)
Sebagai jawaban
terhadap kaum hizbiyun yang lebih mementingkan masalah politik dan para ulama
FIQHUL WAQI', kami nukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjawab
ucapan tokoh Syiah di atas. Beliau berkata: "Bantahan untuk ucapan ini ada
beberapa sisi:
Pertama, kita katakan: 'Orang yang mengatakan
bahwa masalah imamah adalah perintah yang paling penting dalam hukum-hukum Dien
dan permasalahan kaum muslimin yang paling tinggi adalah berdusta menurut ijma'
kaum muslimin, sunni maupun syiah mereka. Bahkan merupakan kekufuran karena
sesungguhnya iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah masalah yang lebih penting
dari masalah imamah. Perkara ini sudah dimaklumi menurut aksioma agama Islam.
Seorang yang kafir tidak akan menjadi mukmin, hingga mempersaksikan bahwa tiada
yang patut diibadahi, kecuali Allah dan bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah utusan Allah. Karena perkara inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam memerangi kaum kuffar pertama kali sebagaimana diriwayatkan dengan
khabar yang mustafidl dalam kitab-kitab shahih bahwa beliau
bersabda:
Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka
bersaksi bahwa tiada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dan
sesungguhnya aku adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, maka apabila mereka telah mengerjakan semua itu harta dan darah mereka
akan terlindung dariku kecuali dengan haknya. (HR. Bukhari
Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka dan tangkaplah mereka.
Kepung dan intailah mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan
mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka
untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(At-Taubah: 5).
Demikian pula yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
perintahkan kepada Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu ketika beliau
mengutusnya. Juga tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berperang
melawan orang-orang kafir, beliau menjaga darah mereka dengan taubat mereka dari
kekufuran. Beliau sama sekali tidak menyinggung masalah
imamah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman setelah
itu:
Jika mereka bertaubat, mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.
(At-Taubah: 11)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai
saudara-saudara seagama dengan taubat. Karena sesungguhnya orang-orang kafir di
masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika masuk Islam, mereka akan
diberlakukan hukum- hukum Islam, tetapi beliau sama sekali tidak menyinggung
masalah imamah kepada mereka. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama yang
menukil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara khusus maupun
umum. Bahkan kita mengetahui dengan pasti bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak pernah menyebutkan kepada manusia ketika mereka ingin memasuki
Dien-Nya tentang imamah, tidak secara mutlak tidak pula tertentu. Maka,
bagaimana imamah dikatakan sebagai perintah yang paling penting dalam
hukum-hukum Dien?!
Kedua, kita katakan: Iman kepada Allah dan
Rasul-Nya di setiap masa dan tempat selalu lebih besar dari permasalahan imamah.
Oleh karena itu tidak pernah ada pada suatu waktu, imamah menjadi lebih penting
dan lebih mulia. (Pernyataan ini cukup sebagai bantahan terhadap orang-orang
yang menganggap bahwa: "Pada masa mereka (ulama) imamah memang tidak penting
karena sudah ada khilafah, tetapi sekarang imamah adalah perkara yang paling
penting." Maka perhatikanlah dan ambillah pelajaran darinya!
peny).
Ketiga, kita katakan: "Mestinya wajib bagi Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjelaskan hal ini kepada umat yang akan
tetap ada setelah beliau wafat sebagaimana beliau telah menjelaskan masalah
shalat, zakat, puasa, dan haji, sebagaimana beliau menentukan keimanan kepada
Allah, mentauhidkan-Nya dan keimanan kepada hari akhir..."
Beliau (Ibnu Taimiyyah)
melanjutkan: "Juga merupakan sesuatu yang sudah diketahui bahwa perkara kaum
muslimin yang paling mulia dan perintah-perintah agama yang paling penting
seharusnya disebutkan dalam Al-Qur`an dengan penyebutan yang lebih besar dari
yang lainnya. Begitu pula penjelasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadapnya akan lebih mengutamakannya dari yang lainnya. Kenyataannya Al-Qur`an
banyak sekali menyebutkan tentang permasalahan tauhid kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, bukti- bukti kekuasaan-Nya,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir,
kisah-kisah, perintah dan larangan. (Namun) tidak seperti halnya masalah imamah.
Maka, bagaimana mungkin Al-Qur`an penuh dengan perkara-perkara yang bukan
perkara yang paling penting dan paling mulia?" (Minhajus Sunnah
1/21)
Mungkin ada yang mengatakan: "Bukankah imamah juga
termasuk perintah dan larangan!!!" Kita katakan: "Kalaupun termasuk perintah,
maka yang paling tinggi adalah seperti shalat, zakat dan lain-lain yang juga
perintah-perintah Allah. Bagaimana mungkin hanya imamah saja yang dianggap
sebagai permasalahan kaum muslimin yang paling penting dan paling mulia serta
perintah Dien yang paling penting!" (Minhajus Sunnah 1/29)
Atau mungkin mereka
mengatakan bahwa perkara imamah ini termasuk nash-nash umum dalam
perintah-perintah hukum hadd seperti qisas bagi pembunuh, atau potong tangan
bagi pencuri dan lain-lain, sehingga dengan kaidah:
Apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu
maka sesuatu itupun wajib.
Berarti mendirikan imamah untuk melaksanakan hukum hadd
adalah wajib!
Kita katakan: Bahwa inipun adalah alasan kuno yang sudah
dibantah oleh Syaikhul Islam juga. Beliau mengatakan (secara ringkas): "Walaupun
benar kaidah itu, namun paling tinggi dia hanya sebagai masalah-masalah
istimbath yang kadang- kadang diistilahkan sebagai furu' oleh para fuqaha. Lalu
bagaimana mungkin dijadikan sebagai rukun dari rukun-rukun Islam!?" (Minhajus
Sunnah 1/33).
Bagi kita yang menyaksikan keadaan hizbiyyun pada hari
ini akan mengetahui dengan jelas bahwa alasan mereka inipun perlu dipertanyakan.
Karena seperti kita lihat dalam kenyataan, hukum hadd mana yang sudah ditegakkan
dalam daulah Islamiyyah di Sudan, yaitu daulahnya Hasan At-Turabi yang sudah
jelas sekularis!?
Sesungguhnya hukum-hukum hadd yang harus ditegakkan itu
tidak hanya terhadap peminum khamr dan pencuri saja, tetapi juga terhadap para
penyeleweng ajaran Islam dan kaum murtadin (orang-orang murtad). Maka bagaimana
kira-kira kalau hizbiyyun berhasil memegang kekuasaan?! Mereka mesti akan
mengatakan kepada para penyeleweng dan murtadin: "Kita tolong-menolong pada apa
yang kita sepakati dan saling menghormati dalam perkara yang kita
berbeda?!"
Barangkali pembaca terkejut karena kami juga menuliskan
para murtadin di atas. Yah... paling tidak ini adalah apa yang kita saksikan
sendiri dari ucapan Hasan At- Turabi yang membolehkan berganti-ganti agama. Dia
berkata: "Dan aku suka untuk berkata bahwasanya dalam lingkup daulah yang satu
dan perjanjian yang satu boleh bagi seorang muslim –sebagaimana boleh pula bagi
seorang Nashrani- untuk mengganti agamanya." Innalillahi wainna ilaihi raji'un
(Ucapan ini dia ungkapkan di Universitas Khurtum sebagaimana dinukil pula oleh
Ahmad bin Malik dalam bukunya As-Sharimul Maslul fi Raddi 'ala At-Turabi Syatimi
Ar-Rasul hal. 12, melalui kitab Aqlaniyyun oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
hal. 69).
Sumber: Majalah
Salafy edisi XIII, Sya'ban – Ramadhan 1417 H
0 komentar:
Posting Komentar