Pentingnya Sunnah Walaupun Sunat
(Mustahab)
Mereka juga berkata: "Yang kami maksud dengan furu'
adalah yang sunnat-sunnat (yang tidak wajib). Mengapa kita harus disibukkan
dengan yang sunnat-sunnat, bukankah banyak perkara-perkara yang lebih
penting?
Lihatlah ucapan mereka! Apakah perkara-perkara sunnat
tidak penting?
Identik dengan ucapan sebelumnya,
kalimat inipun terucap karena mereka menganggap bahwa amal-amal sunnat
menghalangi "yang lebih penting." Kalau kita desak apakah yang lebih penting
itu? Kembali mereka akan mengatakan "dakwah dan jihad", seakan-akan dakwah dan
jihad bertentangan dengan perkara menghidupkan sunnah.
Sesungguhnya jika
dakwah dan jihad itu dengan cara sunnah, tidak mungkin bertentangan dengan
perkara-perkara sunnat. Bahkan sesungguhnya perkara- perkara sunnat adalah
pelengkap perkara-perkara wajib dan pendukungnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
Sesungguhnya amal pertama dihisabnya manusia di hari
kiamat adalah masalah shalat. Beliau berkata: Rabb kita 'Azza wa Jalla berfirman
kepada para malaikat-Nya: Lihatlah shalat hamba-Ku! Dia menyempurnakan atau
menguranginya? Jika shalat itu sempurna, maka ditulislah baginya sempurna, dan
kalau ada kekurangan padanya, Allah berfirman: Lihatlah! Apakah hamba-Ku
memiliki shalat-shalat sunnat? Kalau dia memiliki shalat-shalat sunnat, Dia
berfirman: sempurnakan kewajiban hamba-Ku dengan sunat-sunatnya! Kemudian
diambillah (seluruh) amalan-amalan seperti itu." (HR. Abu
Dawud).
Lihatlah hadits ini dengan teliti! Akan tampak bagi kita
betapa pentingnya perkara- perkara sunnat karena Dia merupakan penambah apa-apa
yang kurang dari perkara wajib.
Berkata Syaikh Abdus
Salam Barjas: "...termasuk sesuatu yang tidak perlu diragukan bahwa melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana Allah perintahkan (dengan sempurna, peny) adalah
sesuatu yang berat bagi rata-rata manusia. Karena amal mereka tidak lepas dari
kekurangan-kekurangan, seperti ditinggalkannya kekhusyu'an dalam shalat atau
tidak tuma'ninah padanya. Juga seperti berbuat sia-sia, ghibah dan namimah dalam
puasa atau berbuat kefasikan dan perdebatan dalam haji dll. Semua ini dan yang
semodel dengannya akan menyebabkan seorang hamba dibalas dan berkurang pahala
kewajibannya.
Tetapi sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla yang banyak
fadlilah-Nya dan luas rahmat- Nya menjadikan untuk hamba-Nya sesuatu yang akan
menyempurnakan kekurangan itu dan memperbaiki kerusakannya, yaitu dengan menjaga
apa yang disyariatkan-Nya dari pahala-pahala sunnat.
Untuk itu tidaklah
pantas bagi seorang yang berakal meremehkan sesuatu yang menyempurnakan
kewajiban-kewajibannya dan mendekatkan kepada keridlaan Rabb-Nya. (Dlaruratul
Ihtimam bis Sunnah hal. 47-48).
Kemudian Syaikh Abdus
Salam Barjas menukil ucapan Imam Syathibi dalam Muwafaqat 1/92, beliau berkata:
"Sesuatu yang mandub (sunnat) jika engkau lihat dengan pandangan yang lebih luas
dari pandangan sebelumnya, maka akan kau dapati bahwa perkara-perkara sunnat
adalah pembantu bagi yang wajib, karena dia bisa jadi sebagai pembukaan bagi
yang wajib, penyempurna atau pengingatnya." (Dlaruratul Ihtimam hal
48).
Demikianlah sesungguhnya tidak pantas bagi seorang
muslim yang mukhlis untuk meremehkan masalah sunnah walaupun sunnat. Apa lagi
mencelanya. Wallahu a'lam.
Sumber: Majalah
Salafy edisi XIII, Sya'ban – Ramadhan 1417 H
0 komentar:
Posting Komentar