KEDUA : SAMPAIKAN SUNNAH & JANGAN DIPERDEBATKAN
Kaidah yang kedua dalam penerapan Sunnah adalah
menyampaikan Sunnah dan tidak memperdebatkannya. Karena memperdebatkan Sunnah
hanya akan membawa pada pertikaian yang berbuntut pelecehan terhadap Sunnah
Nabawiyah itu sendiri. Berkata Imam Malik rahimahullah: “Perdebatan hanyalah
akan membawa pada pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati,
serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian. (Syiar a’lamin Nubala’, 8/
106). Demikian pula dikatakan oleh Imam Syafii dan lain-lain. (Syiar A’lamin
Nubala’, 10/28)
Dalam pengamalan atau penyampaian sunnah kita hanya
diperintahkan untuk menyampaikan dengan jelas dan bukan memperdebatkannya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan ta'atlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang. (al-Maidah: 92)
Sampaikanlah Sunnah dengan menjelaskan
dalil-dalilnya secara ilmiah yaitu dengan menunjukkan keshahihan haditsnya dan
menjelaskan ucapan para Ulama tentang maknanya. Dengan kata lain kita hanya
menegakkan hujjah (dalil/keterangan, red) dan menunjukkan kebenarannya secara
riwayat dan dirayah (lihat edisi yang lalu). Adapun masalah hidayah ada di
tangan Allah.
Kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk menerima
hidayah. Sehingga jika ada sebagian manusia yang membantah atau memperdebatkan
Sunnah setelah jelas baginya hujjah, maka itu hanyalah salah satu dari beberapa
cara penolakan terhadap Sunnah. Untuk itu mereka harus kita tinggalkan dan kita
tidak perlu sibuk melayaninya. Jika kita melayani mereka, maka hal itu hanyalah
akan membuang- buang waktu dan tidak akan memberikan faedah sama sekali, bahkan
hanya akan menimbulkan madlarat.
Allah mengancam mereka yang menolak
sunnah setelah jelas baginya dengan Adzab neraka Jahanam, sebagaimana
firman-Nya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’:
115)
Pada suatu hari, Imam Malik pernah ditanya oleh seorang yang bernama
Haitsam bin Jamil: “Wahai Abu Abdillah (yakni imam Malik), seorang yang memiliki
ilmu tentang sunnah apakah boleh dia berdebat untuk membelanya?” Imam Malik
menjawab: “Jangan! Tetapi hendaklah dia menyampaikan sunnah tersebut. Jika
diterima, itulah yang diharapkan; namun jika ditolak, maka diamlah”. (Jami’
Bayanul Ilmih wa Fadlihi, juz 2 hal. 94)
Demikian pula Imam Ahmad menyatakan: “Sampaikanlah
sunnah dan jangan kalian memperdebatkannya”. (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi
Ya’la, melalui nukilan Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, hal.
89)
Para ulama telah mengingatkan kaum muslimin agar mereka jangan
memperdebatkan masalah agama. Yang diperintahkan kepada mereka adalah
mengamalkan hal-hal yang telah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya dan
meninggalkan hal-hal yang telah dilarang. Kebinasaan yang telah menimpa orang-
orang sebelum kita adalah karena banyaknya perdebatan, protes dan pertentangan
serta perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan
apa yang aku perintahkan, kerjakanlah sebisa kalian. Karena sesungguhnya
kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya perselisihan dan
pertentangan mereka terhadap para nabinya. (HR. Bukhari Muslim)
Oleh
karena itu, kewajiban bagi kita kepada umat adalah menyampaikan sunnah dengan
menjelaskan keshahihan riwayatnya dan kejelasan maknanya menurut ulama salaf.
Jika mereka menerima dakwah kita, kita ucapkan “Alhamdulillah”. Dan kalau mereka
menolak dengan mempermasalahkan dan memperdebatkannya dengan akal dan perasaan
mereka, maka tinggalkanlah!.
Jeleknya Ilmu Kalam
(Filsafat)
Perdebatan terhadap nash-nash yang telah jelas datangnya
dari Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang tercela. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang
ayat-ayat Allah tanpa ilmu yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka
melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan
mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (Ghafir: 56)
Memang orang-orang yang sesat
seringkali diberi oleh Allah keahlian dalam berdebat dan bersilat lidah.
Tidaklah sesat satu kaum setelah datangnya petunjuk kecuali setelah
diberikan kepada mereka kepandaian debat. (HR. Ahmad) (Syaikh Barjas dalam
Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Barjas, hal. 89)
Ilmu debat/kalam bukanlah
ilmu yang bermanfaat. Bahkan sebaliknya hanya akan membawa madlarat dan
kesesatan, karena ilmu kalam adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana membantah
dengan akal dan permainan kata-kata. Para ulama telah memperingatkan kita dari
bahaya ilmu kalam atau mantiq tersebut.
Berkata Imam Ahmad: “Janganlah kalian
bermajelis dengan ahlul kalam, walaupun ia membela sunnah. Karena urusannya
tidak akan membawa kebaikan!” (Al-Ibanah, juz 2/540 melalui nukilan Lamu ad-Duur
Minal Qaulil Ma’tsur, Syaikh Jamal Ibnu Furaihan, hal. 40)
Berkata Abdul
Harits: “Aku mendengar Abu Abdillah berkata: “Jika engkau melihat seseorang
menyukai ilmu kalam, maka berhati-hatilah kalian dengannya”. (Idem)
Imam
Syafi’i berkata; “Barangsiapa yang bermantiq, maka dia akan jadi zindiq
(sesat)”. Beliau juga berkata: “Hukumanku bagi ahlul kalam adalah dipukul dengan
pelepah korma dan sandal, dikelilingkan ke kampung-kampung dan diumumkan di
hadapan manusia: “Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan kitab dan
sunnah dan berpaling pada ilmu kalam””. (Syarh al-Aqidatul ath-Thahawiyah, hal.
72)
Ingatlah wahai kaum muslimin, agama ini bukanlah milik para pemenang
debat. Tidak mesti mereka yang menjadi pemenang dalam perdebatan adalah orang
yang berada di atas kebenaran.
Dikisahkan oleh Ma’n bin Isa: “Imam Malik
bin Anas rahimahullah pada suatu pernah pulang dari suatu majlis dalam keadaan
beliau bertekan pada tanganku. Kemudian beliau ditemui oleh seseorang yang
dipanggil dengan nama Abul Hauriyah. Orang ini termasuk orang yang sesat
beraliran murji’ah. Ia berkata: “Wahai hamba Allah, dengarkanlah dariku sesuatu.
Aku ingin berbicara denganmu menyampaikan argumentasiku kepadamu dan
menyampaikan pendapatku kepadamu (yakni mengajak berdebat –pent.)”. Maka Imam
Malik menjawab: “Bagaimana jika engkau bisa mengalahkanku?” Ia berkata: “Jika
engkau kalah, maka engkau harus mengikutiku”. Imam Malik berkata lagi: “Jika
datang orang ke-3 menyampaikan argumentasinya kepada kita, kemudian ia
mengalahkan kita?” Ia menjawab: “Jika kita kalah, maka kitapun mengikutinya”.
Mendengar jawaban ini, imam Malik berkata: “Wahai hamba Allah, Allah telah
mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan agama yang satu,
tetapi aku melihat engkau berpindah- pindah dari satu agama ke agama yang lain”.
Dalam riwayat yang lain: “Bukanlah agama ini milik para pemenang debat”.
(Asy-Syari’ah, al-Ajurri, 64)
Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi:
18/Th. I tgl 22 Dulhijjah 1424 H/13 Pebruari 2004 M
0 komentar:
Posting Komentar