Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam tidak boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang baik) dan
mafsadah (pengaruh yang jelek)nya.
Para ulama telah meletakkan
kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan dikenal dalam kitab-kitab fiqih dan ushul
fiqih. Kaidah tersebut diantaranya: “Jika dihadapkan kepada kita dua mafsadah,
maka kita harus menghindari mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang
lebih kecil”. Atau kaidah yang sejenisnya yakni “Menolak mafsadah lebih
diutamakan daripada mendatangkan maslahat”.
Kaidah-kaidah yang seperti
ini sesungguhnya diterapkan kalau terjadi dilematis antara 2 keadaan. Artinya
jika dihindari yang satu, maka akan terkena yang lainnya. Adapun jika keadaannya
tidak seperti itu, maka jelas mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam merupakan maslahat yang besar.
Kaidah-kaidah para ulama
tadi diambil dari dalil-dalil yang banyak dan shahih. Salah satu di antaranya
adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah:
Aku bertanya kepada Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Apakah al-jadru (Hijr Ismail) itu termasuk
Baitullah (Ka’bah)?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Ya”. Aku
katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke dalam Baitullah?” Beliau
menjawab: “Sesungguhnya kaummu kekurangan dana”. Aku bertanya lagi: “Dan kenapa
pintunya berada di atas?” Beliau menjawab: “Dibangun sedemikian rupa supaya
kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan melarang siapa yang
dikehendakinya. Kalau saja bukan karena kaummu yang baru masuk Islam dan sangat
dekat dengan jahiliyah -yang aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya,
niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam bangunan Baitullah dan niscaya aku
tempelkan pintunya ke bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini
dimasukkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: ”Bab
meninggalkan sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman manusia,
hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu Hajar dalam syarh hadist
ini mengatakan: “Hadist ini memberikan faedah tentang bolehnya meninggalkan
suatu maslahat karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”.
Demikian
pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dianjurkan bagi seseorang untuk
memiliki tujuan melembutkan hati-hati manusia dengan cara meninggalkan beberapa
hal yang mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menyatunya hati-hati kaum
muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat yang akan didapatkan
dengan mengerjakannya. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
meninggalkan untuk membangun Ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan
bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan terjaga hati-hati
kaum muslimin yang baru masuk Islam pada saat itu”.
Juga dicontohkan
oleh Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu. Ketika beliau melihat perbuatan khalifah
Utsman ibn Affan yang tidak mengqashar shalatnya ketika dalam safar. Beliau
mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, aku
shalat di belakang Abu Bakar dan Umar, keduanya mengqashar shalatnya. Namun
Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, beliau tetap
sholat di belakang Utsman empat rakaat. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya,
beliau mengatakan bahwa perselisihan adalah suatu kejelekan.
Demikian
pula jawaban khalifah Utsman bin Affan ketika beliau ditanya mengapa beliau
menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menjawab bahwa karena pada
saat itu banyak orang awam dan mereka yang baru masuk Islam, maka beliau
khawatir jika mereka menganggap bahwa shalat dluhur itu dua rakaat. Ini
menunjukkan bahwa ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya
daripada mengerjakan hal yang mustahab.
Oleh karena itu, mengerjakan
suatu amalan sunnah bisa jadi pada satu keadaan menjadi mustahab (dianjurkan);
namun dalam keadaan lain, meninggalkannya lebih afdhol sesuai dengan maslahat
yang lebih unggul. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 22, hal.
407).
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam masalah ini
maslahat yang dimaksud adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan
maslahat pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia) belaka. Dan juga kaidah
ini berlaku pada hal-hal yang hukumnya mustahab bukan pada perkara yang wajib.
Adapun jika perkara itu adalah perkara yang wajib, maka meninggalkannya akan
mendapat dosa dan diancam dengan adzab api neraka. Adakah mafsadah yang lebih
besar dari pada masuknya seseorang ke dalam api neraka?
Kaidah ini tidak
bertentangan dengan kaidah asal yang memerintahkan untuk senantiasa menghidupkan
sunnah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini bersifat sementara dan pada
keadaan tertentu, bukan untuk mematikan sunnah selama-lamanya.
Dalam
masalah ini ada sebagian di antara kaum muslimin yang melampaui batas, seperti
Ikhwanul Muslimin, Sururiyin (pengikut Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin),
Qutbiyyun (pengikut Sayid Qutub) dan sejenisnya. Mereka menggunakan kaidah ini
dalam metode dakwahnya secara berlebihan, hingga mereka mematikan sunnah dan
menggagap sunnah sebagai penghalang da’wah. Bahkan di antara mereka ada yang
mendudukkan “Maslahatu Da’wah” seakan-akan tuhan, mereka menghalalkan apa-apa
yang telah diharamkan Allah, mengharamkan hal-hal yang telah dihalalkan, merubah
syari’at, mematikan sunnah, bahkan membenci ahlussunnah yang menghidupkan sunnah
hanya dengan alasan Maslahatud Da’wah (kepetingan dakwah).
Kita katakan
bahwa kalau meninggalkan sunnah secara keseluruhan, apalagi meninggalkan
perkara-perkara yang wajib, maka itu bukan maslahat untuk da’wah, bukan pula
untuk agama ini, bahkan yang terjadi adalah mafsadah yang besar dan kehancuran
Islam.
Berkata Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu: ”Akan muncul suatu kaum
yang meninggalkan sunnah seperti ini (yaitu satu ruas jari). Jika kalian
biarkan, niscaya mereka akan mendatangkan bencana yang besar. Sesungguhnya
tidaklah ahlul kitab meninggalkan agamanya kecuali diawali dengan meninggalkan
satu sunnah demi satu sunnah, hingga berakhir dengan meninggalkan sholat. Kalau
mereka tidak berusaha menghidupkan sunnah niscaya mereka pun akan meninggalkan
sholat.” (diriwayatkan oleh al-Lalikai di dalam Syarh Ushulul I’tiqad
Ahlussunnah wal Jama’ah, juz 1/91).
Untuk itu kita harus memiliki dan
menerapkan kadah-kaidah dalam penerapan sunnah secara lengkap. Jangan mengambil
salah satunya dan membuang yang lainnya. Kaidah yang pertama dan utama adalah
bagaimana menghidupkan sunnah secara keseluruhan pada diri kita dan masyarakat
kita. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke
dalam Islam secara keseluruhan. Dan janganlah kalian turuti langkah-langkah
setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah:
208)
Kami berikan satu contoh, yaitu ketika kita melihat satu sunnah yang
tidak wajib hukumnya (mustahab) seperti sunnahnya sholat memakai sandal. Dalam
keadaan masyarakat yang jahil dan diperkirakan akan dapat menjadi fitnah bagi
mereka dengan mencela sunnah tersebut atau mencela dakwah ahlu sunnah, maka
hendaknya kita tidak mengerjakan atau lebih tepatnya menunda hingga kita
menyampaikan ilmunya, menerangkan dalilnya, menegakkan hujahnya, membuktikan
keshahihan riwayatnya dan menjelaskan istimbat hukumnya menurut para ulama agar
tidak membuat salah paham mereka.
Berkata Syaikh Abdussalam bin Barjas:
“Pemahaman yang benar terhadap kaidah ini adalah jika pada penerapan suatu
sunnah dapat mengakibatkan mafsadah yang jelas lebih besar dari maslahat yang
didapatkannya maka tahanlah sunnah tersebut di tempat tersebut (pada saat
tersebut) dengan mengupayakan beberapa perkara:
1. Wajib menasehati
mereka dan mengingatkan mereka tentang kedudukan sunnah yang tinggi dan agung
tersebut.
2. Tidak meninggalkan sunnah tersebut untuk selamanya.
3. Jika
diketahui bahwa para penentang sunnah tersebut menolaknya bukan karena bodoh,
tetapi karena benci terhadap sunnah tersebut, karena ta’ashub (fanatik) kepada
madzhab tertentu atau karena mengikuti aliran tertentu, maka sunnah harus tetap
ditegakkan. Tidak peduli dengan mereka atau seribu orang seperti mereka. Karena
telah shahih riwayatnya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
...Barangsiapa yang benci pada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku... (HR.
Bukhari)
Selanjutnya Syaikh Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Karena
maslahat besar yang kita inginkan adalah bagaimana kita mewujudkan kasih sayang
di antara ahlus sunnah dan sebaliknya menghilangkan permusuhan dan kebencian di
antara mereka, maka ketika telah diketahui seseorang atau sekelompok tertentu
benci kepada sunnah, maka hilanglah kasih sayang kita kepada mereka dan wajib
memboikot dan membenci mereka karena Allah.
Hal ini berbeda keadaannya
jika yang membenci dan menolak sunnah adalah orang awam seperti kebanyakan kaum
muslimin. Jika kita menunda beberapa perkara yang tidak wajib karena mengimbangi
mereka hingga mereka paham terhadap perkara tersebut, hal ini adalah satu sikap
yang bijaksana dan perkara yang disyari’atkan. Sikap ini dilakukan agar
kebodohan mereka tidak membawa mereka terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak
pantas diucapkan. Langkah berikutnya adalah mengenalkan kepada mereka
sunnah-sunnah tersebut dengan penuh hikmah dan kelembutan. Kalau perlu meminta
bantuan kepada orang-orang yang berilmu dalam masalah tersebut.
Kalau
upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan telah jelas bagi mereka petunjuk, namun
mereka tetap membenci dan menolaknya, maka gabungkanlah mereka dengan kelompok
tadi (yakni ahlil bid’ah). (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas,
hal. 96-97)
Dikutip dari
Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 16/Th. I, tgl 8 Dulhijjah 1424 H/30 Januari
2004 M
0 komentar:
Posting Komentar