KEEMPAT : TEGAKKAN SUNNAH WALAUPUN SELURUH MANUSIA MENINGGALKANNYA
Biasanya seseorang yang terpengaruh dengan
lingkungannya, cenderung untuk menyamakan dirinya dengan masyarakat di
sekitarnya. Ketika ada suatu sunnah yang tidak dikerjakan oleh masyarakat
sekitarnya, maka ia tidak berani melakukannya. Hal itu dikarenakan rasa malu,
minder atau khawatir dianggap tidak bermasyarakat.
Padahal justru pada
masa-masa seperti itu seseorang yang menerapkan sunnah akan mendapatkan pahala
besar, lima puluh kali lipat pahala para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam. Ini sesuai dengan sabda beliau Shalallahu ‘alaihi
wassalam:
“Sesungguhnya di belakang kalian nanti ada hari-hari sabar bagi
orang-orang yang pada waktu itu berpegang dengan apa yang kalian ada di atasnya.
Mereka akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian”. Para shahabat
bertanya: “Wahai nabi Allah, apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka?”
beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Bahkan dari kalian”. (HR. Marwazi
dalam As-Sunnah)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya di belakang kalian ada
hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka
yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali
dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya:
“Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari
kalian”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Dan
dishahihkan oleh Imam Hakim dan disepakati oleh Dzahabi; lihat Dlaruratul
Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 49)
Maka kaidah yang keempat
dalam penerapan sunnah adalah “Kita tetap mengamalkan sunnah walaupun seluruh
manusia meninggalkannya”. Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah ketiga,
yang membimbing kita agar memperhatikan maslahat dan mafsadah, karena matinya
suatu sunnah jelas merupakan mafsadah besar. Oleh karena itu ketika manusia
melupakan suatu sunnah, maka semestinya kita menghidupkannya agar manusia
mengenalinya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: ”Tidak
mengapa kita meninggalkan suatu perkara yang mustahab (tidak wajib), tetapi kita
tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan disunnahkannya amalan tersebut. Karena
mengenali sunnahnya amalan tersebut merupakan fardu kifayah agar tidak hilang
sedikitpun dari agama ini.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 436)
Semoga
Allah merahmati Ibnul Qayyim rahimahullah ketika dia berkata: “Kalau semua
perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah sunnah-sunnah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna
jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi sunnah
yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu
ada sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah
seterusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali sunnah yang dikerjakan, itupun
dalam keadaan tidak sempurna….”. (I’lamul Muwaqi’in, 2/395; Lihat Dlaruratul
Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 86)
Demikianlah, jika
manusia dibiarkan meninggalkan perkara yang sunnah, kemudian kita juga tidak mau
menegakkannya karena masyarakat tidak mengerjakannya, niscaya akan matilah
sunnah dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Suatu saat kelak ketika ada yang
mengerjakan sunnah tersebut akan dianggap sebagai orang yang mengerjakan
kebid’ahan.
Sebagai contoh, sunnah yang telah diperintahkan oleh Allah,
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam, para sahabatnya dan para
ulama yang setelahnya, yaitu sunnah taaddud atau Poligami. Betapa kerasnya
manusia -bahkan kaum muslimin sendiri— yang menentang sunnah ini. Orang yang
melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang
besar. Padahal asal perintah Allah dalam masalah perkawinan adalah untuk
berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi
keringanan untuk beristeri satu saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisaa’: 3)
Ini adalah
salah satu bukti tentang satu perkara sunnah yang jika ditinggalkan oleh
kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, maka manusia akan
mengingkari sunnah tersebut seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebidahan
atau bahkan lebih dari itu.
Memang orang yang memulai menghidupkan suatu
sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan resiko yang berat,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat di atas. Orang yang
mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan
terbakar, namum jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang
besar, yaitu limapuluh kali para sahabat.
Di samping itu, agama ini
memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti
permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan sunnah
maka akan lenyaplah Islam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah
mengkhabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi
asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi
orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
Sesungguhnya
Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulaannya, maka
berbahagialah orang-orang yang asing. (HR. Muslim)
Untuk itu janganlah
perasaan asing, malu, takut, dan lain-lain menjadikan kita meninggalkan sunnah.
Kita harus ingat bahwa sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan
kumpulan sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam
bukunya, Syarhus Sunnah: “Islam adalah sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak
akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya”.
Jika berkurang
satu sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga
akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah Ibnu Dailami:
”Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya sunnah.
Agama ini akan hilang satu sunnah demi satu sunnah seperti hilangnya tali satu
kekuatan demi kekuatan”. (Ushul I’tiqad Ahlussunnah, Al Lalikai
1/93).
Oleh karena itulah Ahlul bid’ah dikatakan oleh para ulama sebagai
orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebidahan yang
mereka lakukan, maka ada sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerjakan,
semakin banyak pula sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Berkata
Al Auza’i dari Hassan bin Athiyyah: ”Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu
kebid’ahan kecuali Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisalnya. Kemudian
tidak akan dikembalikan kepada mereka sampai hari kiamat”.
Dan berkata
Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu: “Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali
mereka mengada-adakan satu kebid’ahan dan mematikan satu sunnah. Demikianlah
hingga berkembanglah kebid’ahan dan matilah sunnah”. (al- Bida’ wa nahyu
‘anha,hal. 38-39; lihat Dlaruratul Ihtimam, hal. 85).
Sedangkan Ibnu
Taimiyyah dalam Iqtidha’nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan sunnah
itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan
dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan sunnah.
Ketahuilah
bahwa di samping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan
sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar yaitu hidupnya sunnah. Adapun
mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya
maslahat agama harus lebih diutamakan daripada maslahat pribadi.
Dengarkanlah apa yang diucapkan oleh Imam asy-Syatibi
berikut: “Aku ragu dan berulang kali menghitung antara menerapkan sunnah dengan
konsekwensi menyelisihi kebiasaan manusia yang tentunya akan mendapatkan resiko
seperti apa yang telah didapatkan oleh orang yang menyelisihi adat kebiasaan
kaumnya; apalagi kalau mereka menganggap apa yang biasa mereka lakukan tidak
lain adalah sunnah; namun di samping resiko yang berat itu ada pahala yang
besar. Atau aku memilih untuk mengikuti kebiasaan mereka dengan konsekuensi
menyelisihi sunnah dan menyelisihi jalan salafus shalih hingga aku digolongkan
termasuk orang-orang yang menyimpang –Naudzubillah min dzalika—Namun karena aku
mencocoki kebiasaan manusia akan dianggap sebagai orang yang bisa bermasyarakat
dan tidak termasuk orang yang menyelisihi adat. Akhirnya aku berpendapat bahwa
kebinasaan dalam mengikuti sunnah adalah keselamatan, dan bahwasanya manusia
tidak akan bisa mencukupi aku dari Allah sedikitpun”. (Dlaruratul Ihtimam,
Syaikh, Abdus Salam bin Barjas hal. 88)
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 20/Th.
I tgl 13 Muharram 1425 H/5 Maret 2004 M
0 komentar:
Posting Komentar