(Bagian 1)
Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan
mengikuti Kitab dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Tapi kita tidak
mungkin mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad
(rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa
kalian mengambil Dien kalian.
Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah
Ashabul hadits. Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya
kedudukan mereka.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
“Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami,
kemudian menyampaikannya.” (Hadits Shahih, H.R. Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah berkata : “Hadits ini adalah Shahih,
diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam Musnad 5/183,Imam Abu Dawud dalam As Sunan
3/322, Imam Tirmidzi dalam As Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As Sunan 1/84,
Imam Ad Darimi dalam As Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As Sunan 1/45,
Ibnul Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fabhilihi 1/38-39, lihat As
Shahihah oleh Al ‘Alamah Al Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan
sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth’im dan Abdullah Bin Mas’ud
Radhiallahu 'Anhu”
Hadits ini dinukil oleh Beliau (Syaikh Rabi’) dalam
kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahli Hadits), yaitu
ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khatib Al Baghdadi
(wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya “Kemuliaan
Ashabul Hadits.”
Dalam kitab tersebut, beliau, Abu Bakar Ahmad bin Ali Al
Khatib Al Baghdadi, menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits.
Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka
dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid’ah.
Diantara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan
: “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits)
sebagai tonggak syariat. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap
keburukan bid’ah. Merekalah kepercayaan Allah Subhanahu wa Ta'ala diantara
makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah
(Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka
jelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas… .”
Setelah mengutip
hadits di atas, Al Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan Bin Uyainah
rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan : “Tidak seorangpun mencari
hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam : (Kemudian menyebutkan hadits di atas).
(Bagian 2)
“Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing,maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing.” (H.R. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnul Majah)
Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnah-nya 2/1319, dan Imam Ad Darimi dalam Sunan-nya 2/402.”
Setelah meriwayatkan hadits ini, Al Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud Radhiallahu 'Anhu : “Mereka adalah Ashabul hadits yang pertama.” Kemudian meriwayatkan hadits :
“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu.”
Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Al Mustadrak 1/128. Lihat Ash Shahihah oleh Syaikh kita Al ‘Alamah Al Albani (203).”
Beliau (Al Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa dia berkata : “Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka.” (Hal. 13, Syaraful Ashhabil Hadits oleh Al Khatib). Kemudian Syaikh Al Khatib menyebutkan hadits tentang Thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran :
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong)mereka sampai datangnya hari kiamat.” (H.R. Muslim, Ahmad,Abu Dawud)
Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu’jamul kabir 76643, dan Ath Thayalisi dalam Musnad halaman 94 no.689. lihat Ash Shahihah oleh Al ‘Alamah Al Abani 270-1955.”
Kemudian berkata (Al Khatib Al Baghdadi) : Yazid bin Harun berkata : “Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka.” Setelah itu beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata : “Mereka menurutku adalah Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata : “Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, Ahli Ilmu dan Atsar” (Hal. 14 - 15)
Demikianlah para ulama mengatakan bahwa Firqah Naajiah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing (Ghuraba’) di tengah-tengah kaum Muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan dari Manhaj As Sunnah dan Ashabul Hadits.
(Bagian 3)
Siapakah Ashabul Hadits ?
Hadits yang
pertama yang kita sebutkan menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu
mendengarkan Hadits kemudian menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa kita
katakan sebagai para ulama yang mempelajari Hadits, memahami sanad, meneliti
mana yang Shahih mana yang Dha’if, kemudian mengamalkannya dan menyampaikannya.
Merekalah pembela As Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam serta Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam tidak mewariskan dinar
dan dirham, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa Ahlul hadits ini.
Seorang ahli fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli tafsir
tanpa ilmu hadits adalah ahli takwil.
Imam Abu Muhammad Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata : “…Adapun Ashabul Hadits,
sesunggguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan mengikutinya
dari tempatnya”.
Mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan mengikuti sunnah Rasul Shalallahu 'Alaihi wa Sallam serta mencari
jejak-jejak dan berita- beritanya (Hadits), baik itu di darat dan di laut, di
Barat maupun di Timur. Salah seorang dari mereka bahkan mengadakan perjalanan
jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari berita atau satu hadits, agar dia
mengambilnya langsung dari penukilnya (secara dialog langsung).
Mereka
terus membahas dan menyaring berita-berita (riwayat-riwayat) tersebut sampai
mereka memahami mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang
manshuk, dan mengetahui dari kalangan fuqaha’ yang menyelisihi berita- berita
tersebut dengan pendapatnya (ra’yu-nya), lalu memperingatkan mereka. Dengan
demikian, Al Haq yang tadinya redup kembali bercahaya, yang tadinya kusam
menjadi cerah, yang tadinya bercerai berai menjadi terkumpul.
Demikian
pula orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah, menjadi terikat dengannya,
yang tadinya lalai menjadi ingat kepadanya, dan yang dulunya berhukum dengan
ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam ” (Ta’wil Mukhtalafil Hadits dalam Muqaddimah)
Imam Abu
Hatim Muhammad Ibnun Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Said At Tamimi (wafat 354
H) berkata : “…Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memilih sekelompok manusia
dari kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk
memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada- Nya.
Allah
indahkan hati-hati mereka dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al Bayan
(keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya, mengikuti
sunnah-sunnah Rasul-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang panjang,
meningggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan sunnah-sunnah dan
menolak hawa nafsu (bid’ah).
Mereka mendalami sunnah dengan menjauhi
ra’yu….”. Pada akhirnya beliau mengatakan : “Hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala
memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum Muslimin dan melindunginya dari
rongrongan para pencela. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai
imam-imam (panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi
perselisihan dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di saat terjadi fitnah.
Maka merekalah pewaris-pewaris para Nabi dan orang-orang pilihan….” (Al Ihsan
1/20-23)
Imam Abu Muhammad Al Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar
Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata : “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan
Hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul Hadits). Allah Subhanahu wa Ta'ala juga
meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas seluruh aliran. Didahulukannya dia
(Hadits) diatas semua ilmu serta diangkatnya nama-nama para pembawanya yang
memperhatikannya. Maka jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat
bercahayanya hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak
berhak mendapatkan kedudukan yang tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-
penjaga Dien ini atas umatnya…” (Al Muhadditsul Fashil 1-4).
Imam Abu
Abdillah Muhammad bin Abdillah Al Hakim An Nisaburi (wafat 405 H) berkata
setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits (yang
artinya) : Umar bin Hafs bin Ghayyats berkata : Aku mendengar ayahku ketika
dikatakan kepadanya : “Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits dan apa yang ada
pada mereka ?” Dia berkata : “Mereka sebaik-baik penduduk bumi” dan riwayat dari
Abu bakarbin Ayyash : “Sungguh aku berharap Ahli Hadits adalah sebaik-baik
manusia. “
kemudian beliau (Abu
Abdullah Al Hakim) berkata : “Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits adalah
sebaik baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia
seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan penulisan sebagai makanan
mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai istirahat
mereka….”
Dan akhirnya beliau mengatakan : “Maka akal-akal mereka
dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan
keridhaan dalam berbagai keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah.
Hobi mereka adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus
Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid’ah.” (Ma’rifatu
Ulumul Hadits 1-4)
Berkata Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali tentang
Ashabul Hadits : “Mereka adalah orang-orang yang menjalani manhaj para sahabat
dan tabi’in, yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam berpegang dalam kitab dan
sunnah, dan menggigit keduanya dengan geraham meerka, mendahulukan keduanya da
atas semua ucapan dan petunjuk, apakah itu dalam masalah aqidah, ibadah,
muamalah, akhlak, politik, ataukah sosial.
Oleh sebab itu, mereka adalah
orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini, sesuai
dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada
yang demikian dengan sungguh- sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat.
Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan
membersihkannya dari penyelewengan orang- orang yang melampaui batas, dari
kedustaan orang-orang yang bathil dan dari takwilnya orang-orang yang bodoh.
Oleh karena itu mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap
firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah,
Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqah yang menyempal dari
manhaj Allah di setiap jaman dan setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan
celaan orang-orang yang mencela….”
Beliau pun akhirnya menyebut mereka
dengan sebutan golongan yang selamat (Firqatun Naajiah) yang selalu tegak dengan
kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Thaifah Manshurah)
kemudian berkata : “Mereka setelah sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
dengan pimpinan mereka, Al Khulafaur Rasyidin, adalah para
tabi’in.
(Bagian 4)
Di antara tokoh-tokoh mereka, para imam Ahlus Sunnah
(Ashabul hadits) adalah :
Sa’id bin Musayyab (wafat setelah 90 H)
Urwah bin Zubair(wafat 94 H)
Ali bin Husain Zainal Abidin
(wafat93 H)
Muhammad Ibnul Hanafiyyah (wafat80 H)
Ubaidillah bin
Abdullah bin Umar (wafat 106 H)
Al Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin
abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H)
Al Hasan Al Bashri (wafat 110 H)
Muhammad bin Sirrin (wafat 110 H)
Umar bin Abdul Aziz (wafat 110
H)
Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 125 H) dan lain lain
Kemudian diantara tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in)
tokoh-tokoh mereka adalah :
Imam Malik (wafat 179 H)
Al Auza’i
(wafat 198 H)
Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H)
Sufyan bin Uyainah
(wafat198 H)
Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H)
Al Laits bin Sa’d
(wafat 175 H)
Abu Hanifah An Nu’man (wafat 150 H) dan lain-lain.
Setelah tabiut tabi’in adalah pengikut mereka,
diantaranya :
Abdullah ibnu mubarak (wafat 181 H)
Waqi’ bin
Jarrah (wafat 197 H)
Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (wafat 204 H)
Abdurrahman bin Mahdi (198 H)
Yahya bin Said Al Qattan (wafat
198 H)
Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain.
Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka
diantaranya :
Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H)
Yahya bin Main
(wafat 233 H)
Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain.
Kemudian murid-murid mereka seperti :
Al Bukhari
(wafat 256 H)
Muslim (wafat 261 H)
Abu Hatim (wafat 277 H)
Abu Zur’ah (wafat 264 H)
Abu Dawud (wafat 275 H)
At
Tirmidzi (wafat 279 H)
An Nasa’I (wafat 303 H), dan lain-lain.
Setelah itu orang-orang generasi berikutnya yang
berjalan di jalan mereka adalah :
Ibnu Jarir At Thabari (wafat 310 H)
Ibnul Khuzaimah (wafat 311 H)
Ad Daruquthni (wafat 385 H)
Ibnul Abdil Barr (wafat 463 H)
Abdul Ghani Al Maqdisi dan Ibnul
Qudamah (wafat 620 H)
Ibnu Shalih (wafat 743 H)
Ibnu Taimiyyah (wafat
728 H)
Al Muzzi (wafat 743 H)
Adz Dzahabi (wafat 748 H)
Ibnu Katsir (wafat 774 H)
Dan ulama yang seangkatan di zaman
mereka.
(Bagian 5)
PEMBELAAN MEREKA TERHADAP
AQIDAH
Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa
ilmu dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam Mereka membelanya dan
membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan dan takwil-takwil ahli
bid’ah
Maka, ketika muncul ahli bid’ah yang pertama, yaitu Khawarij, maka
Ali dan para Sahabat radhiallahu anhum bangkit membantah mereka, kemudian
memerangi mereka dan mengambil dari Rasululah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
riwayat-riwayat yang menyuruh unntuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa
membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
(Lihat Mawaqifush Shahabah fi Fitnah Bab 3 Juz 2 hal 191 oleh Dr. Muhammad
Ahmazun)
Ketika Syiah muncul, Ali Radhiallahu 'Anhu mencambuk orang-orang
yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan
puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim di kalangan mereka yang mengangkat
Ali Radhiallahu 'Anhu sampai kepada tingkatan Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar
deengan api. (Lihat Fatawa Syaikhul Islam)
Demikian pula ketika sampai
kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu berita tentang suatu kaum yamg
menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini
terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita
tersebut : “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku
berlepas diri (bara’) dari meerka dan mereka berlepas diri dariku ! Demi yang
jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung
uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya
sampai dia beriman dengan taqdir baik dan buruknya.” (H.R. Muslim
1/36)
Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa
Al Qur’an itu makhluk, maka beliau berkata : “Dia menurut pendapat adalah kafir,
bunuhlah dia !” Juga Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa’ad, Ibnun Uyainah, Hasyim,
Ali bin Ashim, Hafs bin Ghayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya.
Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir
dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan) : Orang-orang itu diminta untuk
taubat, kalau tidak mau dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I’tikad 494,
Khalqu Af’alil Ibad hal 25, Asy’ariyah oleh Al Ajuri hal. 79, dan Syarhus
Sunnah/ Al Baghawi 1/187)
Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, sahabat Imam
Syafi’i, berkata : “Ketika Haf Al Fardi mengajak bicara Imam Syafi’i dan ia
mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, maka Imam berkata kepadanya : “Engkau
telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.”
Imam Malik pernah ditanya
tentang bagaimana istiwa’ Allah di atas ‘Arsy-Nya, maka dia mengatakan :
“Istiwa’ sudah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan
pertanyaan tentang itu adalah bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid’ah
!” Kemudian (orang yang bertanya tentang itu) diperintahkan untuk keluar dan
Beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau pernah
mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji’ah. (Syarah
Ushul I’tiqad 664)
Said bin Amir berkata : “Al Jahmiyyah lebih jelek
ucapannya daripada Yahudi dan Nashrani dan seluruh penganut agama (samawi),
telah sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka (Al
Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy.” (Khalqu Af’alil Ibad
Hal. 15)
Ibnul Mubarak berkata : “Kami tidak mengatakan seperti ucapan
Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan) Allah di atas
Arsy-Nya ber-istiwa’.” Ketika ditanyakan kepadanya : “Bagaimana kita mengenali
Rabb kita ?” Beliau berkata : “Di atas Arsy…Sesungguhnya kami bisa mengisahkan
ucapan Yahudi dan Nashrani, tapi kami tidak mampu untuk mengisahkan ucapan
Jahmiyyah.” (Khalqu Af’alil Ibad / Bukhari hal. 15 As Sunnah /Abdullah bin Ahmad
bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah / Ad Darimi hal. 21 dan
184)
Imam Bukhari berkata : “Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nashara dan
Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka
(Jahmiyyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan
mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad
hal. 19)
Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dari Al Auza’i
bahwa dia berkata : “Kami dan seluruh tabi’in mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah di atas Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan
dalam sunnah.”
Abul Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin
Hasan Asy Syaibani bahwa dia berkata : “Seluruh fuqaha’ (ulama) di timur dan di
barat telah sepakat atas keimanan kepada Al Qur’an dan Al Hadits yang dibawa
oleh rawi-rawi yang tsiqqah (terpecaya) dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam tentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta'ala tanpa tasybih (penyerupaan)
dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan
mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sofyan), maka dia telah keluar dari apa
yamg ada di atasnya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya,
dan dia telah memisahkan diri dari Al Jama’ah karena telah mensifati Allah
Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat yang tidak ada.” (Syarah Usul I’tiqad ahlus
Sunnah 740)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi’i dari
Yunus bin Abdul A’la : Aku mendengar Imam Syafi’i berkata : “Allah memiliki
nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa
yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah, maka dia telah kafir.
Adapun jika (menyelisihinya ) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena
bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak
pula dengan pemikiran. Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan
menafikkan tasybih sebagaimana Allah menafikkan dari dirinya sendiri.” (Lihat
Fathul Bari 13/406-407)
Abu Isa Muhammad bin Isa At Tirmidzi berkata
setelah meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan
kanannya (muttafaqun alaih), katanya : “Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama)
yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari
riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semua mengatakan : Telah tetap
riwayat-riwayat tentangnya , diimani dengannya , tidak menduga-duga dan tidak
mengatakan “bagaimana”. Demikian pula ucapan seluruh Ahli Ilmu dari kalangan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam
menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Al
Khatib Al Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud
Al Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan
Allah atas Dien-Nya dan penjaga- penjaga atas sunnah Nabi-Nya, selama mereka
berilmu dan beramal.
Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah :
“Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah
penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zura’i juga mengatakan : “Setiap Dien memiliki
pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid
(Ashabul Hadits).”
Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan
inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan,
kesesatan dan kedustaan orang- orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua
Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan
pemahaman-pemahaman bid’ah yang dan sesat, baik itu fuqaha’ (ahli fikih) mereka,
mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka
(Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan
mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan
manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis,
riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka
periksa.
Akhirnya, marilah kita simak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah
ini : “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku
melihat Nabi hidup kembali.” (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26)
Wahai Rabb
kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada
kami. Dan janganlah Engkau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada
mereka. Wahai Rabb kami, sesunggguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.
Amien Ya Rabbal ‘Alamin.
0 komentar:
Posting Komentar