Mengapa kita
harus menamai diri kita Salafy Penulis: Syaikh Al Albani (Salafy, Edisi
Perdana/Syaban) Manhaj, 20 - Juli - 2003,
03:37:22
Mengapa
kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu bukan termasuk
ajakan kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik
kepada kelompok tertentu) ataukah merupakan kelompok baru
dalam Islam? Sesungguhnya istilah Salaf sudah dikenal dalam
bahasa Arab maupun dalam syariat Islam. Namun yang kita
utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut dari segi
syariat.
Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa
ketika Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam ditimpa penyakit
yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah
Radhiallahu anha: "Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah)
dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu)
bagimu."
Dan para ulama pun sangat sering menggunakan
istilah salaf sehingga terlalu banyak untuk dihitung. Dan
cukuplah salah satu contoh yang biasa mereka gunakan sebagai
hujjah untuk memerangi bid'ah: "Segala kebaikan adalah dengan
mengikuti jejak Salaf. Dan segala kejelekan ada pada bid'ahnya
kaum khalaf. Tetapi ada sebagian orang yang mengaku ulama
(ahlul ilmi) menolak penisbatan (penyandaran) diri kepada
Salafi ini. Mereka menganggap penisbatan ini tidak ada asalnya
sama sekali! Menurut mereka, seorang muslim tidak boleh
mengucapkan : "Saya pengikut para Salafus Shalih dalam segala
apa yang ada pada mereka baik dalam beraqidah, ibadah maupun
berakhlak."
Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran
seperti ini, kalau memang demikian yang mereka maksudkan,
menunjukkan adanya tindakan untuk melepaskan diri dari
pemahaman Islam yang shahih (benar) sebagaimana yang dipahami
dan dijalani oleh salafus shalih dan pemimpin mereka
Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam.
Seperti
tersebut dalam hadits mutawatir yang terdapat dalam shahihain
(Bukhari-Muslim) dan lain-lain bahwa Rasulullah salallahu
'alaihi wa sallam bersabda:"Sebaik-baik manusia adalah
generasiku (para Shahabatku), kemudian yang sesudahnya
(Tabi'in), kemudian yang sesudahnya (Tabi'ut
Tabi'in)".
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh
melepaskan diri dari penisbatan kepada Salafus Shalih. Sebab
tidak mungkin para ulama akan menisbatkan istilah salaf kepada
kekafiran maupun kefasikan. Sementara orang-orang yang menolak
penamaan itu sendiri, apakah mereka tidak menisbatkan dirinya
kepada salah satu madzhab yang ada? Baik madzhab yang
berhubungan dengan aqidah maupun fiqih? Mereka ini
kadang-kadang ada yang menisbatkan dirinya kepada madzhab
Asy'ariyah atau Maturudiyah.
Ada pula yang menisbatkan
dirinya kepada para ahlul hadits seperti Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi'iyah, atau Hambaliyah yang (kelima madzhab yang terakhir
ini) masih termasuk dalam lingkup Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Padahal orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab
Asy'ariyah atau madzhab imam yang empat (al-Aimmah al-Arba'ah)
tidak diragukan lagi bahwa mereka itu menisbatkan diri kepada
person atau orang-orang yang tidak ma'shum (terpelihara dari
kesalahan), meskipun diantara mereka terdapat ulama yang
benar.
Alangkah lebih baik kalau sekiranya mereka
mengingkari penisbatan kepada orang-orang yang tidak ma'shum
tersebut. Adapun orang yang menisbatkan diri kepada salafus
shalih, sesungguhnya dia telah menisbatkan dirinya kepada yang
ma'shum (yakni Ijma' para shahabat secara umum). Nabi
salallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan ciri-ciri
Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat), yaitu mereka
yang senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah salallahu
'alaihi wa sallam dan sunnah para Shahabatnya Ridhwanullah
'alaihim 'ajma'in.
Barangsiapa berpegang teguh kepada
sunnah mereka, maka dia pasti akan mendapat petunjuk dari
Rabbnya. Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan
orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan
menuntunnya dalam menempuh jalan Al-Firqah An-Najiyah.
Sedangkan orang yang menisbatkan dirinya kepada selain
mereka, tidaklah demikian keadaannya. Karena dalam hal ini dia
hanya mempunyai dua alternatif. Pertama, boleh jadi dia
menisbatkan diri kepada seseorang yang tidak
ma'shum.
Kedua, dia menisbatkan dirinya kepada
orang-orang yang mengikuti madzab tersebut yang tentu saja
tidak ada kema'shuman sama sekali.
Sebaliknya para
shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam secara keseluruhan
merupakan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Dan
kita telah diperintahkan untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para
shahabatnya. Hendaklah kita senantiasa konsisten terhadap
pemahaman Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj (metode
pemahaman) para shahabat. Agar kita tetap berada di
dalam"al-'ishmah" (terlindung dari kesesatan) dan tidak
menyimpang dari manhaj mereka, dengan memakai pemahaman
sendiri yang sama sekali tidak didukung oleh Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
Kemudian, mengapa tidak cukup bagi kita
dengan hanya menisbatkan diri kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah
saja, tanpa pemahaman Salafus Shalih? Maka dalam hal ini ada
dua sebab : Pertama, sebab yang berhubungan dengan
nash-nash syar'iah. Kedua, sebab yang berhubungan dengan
kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok
Islam.
Penjelasan. 1. Yang berhubungan dengan sebab
pertama: Kita temukan dalam nash-nash syar'iah, perintah
untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab
dan As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta
ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu. Kemudian jika kamu
berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(An-Nisa:59)
Seandainya ada seorang Waliyul Amri
(pemimpin kaum muslimin) yang telah dibaiat oleh kaum muslimin
maka kita wajib taat kepadanya, sebagaimana kita wajib taat
kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Meskipun dia dan para
pengikutnya kadang-kadang berbuat salah. Kita wajib taat
kepadanya untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan karena
perselisihan tersebut, tetapi ketaatan itu harus dengan syarat
yang sudah dikenal, yaitu:"Tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam maksiat kepada Allah." (HR Ahmad, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits
no.197)
Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
"Barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya
dan mengikuti selain jalannya Sabilil Mukminin (para
shahabat), maka kami biarkan dia tenggelam dalam kesesatan
(berpalingnya dia dari kebenaran) dan kami masukkan ke neraka
Jahannam. Dan itu merupakan seburuk-buruk tempat
kembali."(An-Nisa':115)
Sungguh, Allah Azza wa Jalla
adalah Dzat yang Maha Tinggi sehingga tidak mungkin Dia
berkata tanpa faedah dan hikmah. Oleh karena itu, tidak
diragukan lagi bahwa penyebutan Sabilul Mukminin (jalannya
orang-orang mukmin) dalam ayat ini mempunyai hikmah dan faedah
yang sangat tinggi.
Penyebutan ini menunjukkan bahwa
di sana ada suatu kewajiban yang sangat penting, yaitu :
ittiba' kita terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah harus sesuai
dengan manhaj yang dipahami dan dijalankan oleh generasi awal
kaum muslimin, para shahabat ridhwanullah alaihim kemudian
generasi berikutnya (para tabi'in), kemudian generasi
berikutnya (tabi'ut tabi'in). Dan seruan inilah yang
senantiasa dikumandangkan oleh Da'wah Salafiyah sekaligus
menjadi rujukan utama mereka, baik dalam asas dakwah maupun
dalam manhaj tarbiyah.
Sesungguhnya dakwah Salafiyah
pada hakekatnya hendak menyatukan umat Islam, sedangkan
dakwah-dakwah yang lain justru sebaliknya memecah-belah umat.
Allah Ta'ala berfirman : "Dan hendaklah kamu bersama-sama
orang yang benar."(At-Taubah:119)
Maka barang siapa
yang ingin memisahkan Al-Kitab dan As-Sunnah di satu sisi dan
para Salafus Shalih di sisi lain, dengan memahami dan
mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak sesuai dengan
pemahaman mereka, maka selamanya dia tidak akan menjadi orang
yang shadiq (benar).
2. Yang berhubungan dengan sebab
kedua. Kelompok-kelompok dan partai yang ada pada zaman ini
tidak mau beralih secara total kepada Sabilul Mukminin yang
tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh
beberapa hadits. Antara lain hadits "Iftiraqul Ummah"
(perpecahan umat) menjadi 73 firqah (golongan), semuanya masuk
neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka telah
disebutkan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam :
"Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para
shahabatku hari ini."(lihat : Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah,
Syaikh Al-Albani no 203 & 1192)
Hadits ini serupa
dengan ayat di atas (QS. An-Nisa: 115), dimana keduanya
menyebutkan Sabilul Mukminin. Kemudian dalam hadits lain dari
Irbadh bin Sariyah, Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : "Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk
sesudahku"(lihat:Irwa'ul Ghalil,Al-Albani no
2455)
Berdasarkan keterangan di atas, maka di sana ada
sunnah yang harus kita pegang teguh yaitu sunnah Rasulullah
salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah khulafaur Rasyidin.
Oleh karena itu, kita wajib kembali kepada Al-Qur'an dan
As-Sunnah serta Sabilul Mukminin (jalannya para shahabat).
Tidak boleh kita mengatakan: "Kami memahami Al-Qur'an dan
As-Sunnah dengan pemahaman sendiri, tanpa memandang sedikitpun
pada pemahaman Salafus Sholih."
Pada zaman sekarang
ini, kita harus melakukan bara' (pemisahan diri) yang
betul-betul bisa membedakan diri kita dengan golongan sesat
lainnya. Tidak cukup bagi kita hanya dengan mengucapkan:"saya
muslim" atau "madzhabku Islam", sebab golongan-golongan yang
sesatpun menyatakan demikian. Seperti kaum Syiah Rafidhah,
Ibadhiyyah, Qadiyaniyyiah (Ahmadiyah) maupun golongan-golongan
sesat lainnya. Sehingga apa bedanya kita dengan golongan sesat
tersebut?
Bila kita mengatakan : "Saya seorang muslim
yang mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah." Ucapan ini masih
belum cukup karena kelompok-kelompok (sesat) seperti
Asy'ariyah, Maturudiyah, dan kaum Hizbiyah, mereka juga
mengaku mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sehingga
tidak diragukan lagi bahwa penamaan yang jelas dan gamblang
serta dapat membedakan antara golongan yang selamat dengan
golongan yang sesat ialah dengan mengatakan: "Saya seorang
muslim yang mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan
manhaj Salafus Shalih" atau lebih singkatnya: "Saya
Salafi!"
Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran yang
tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita hanya
bersandar dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari
manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir,
dalam ilmu dan amal, maupun dalam dakwah dan
jihad.
Kita semua mengetahui bahwa mereka semua (para
Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma'in) tidak fantaik
terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga
kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap
fanatik tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, ataupun Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhum.
Bahkan sebaliknya seorang diantara mereka jika
memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau Umar atau
Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa
memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka
meyakini bahwa tidak boleh seseorang memurnikan ittiba'nya
kecuali kepada seorang yaitu Rasulullah salallahu 'alaihi wa
sallam. Sebab beliau salallahu 'alaihi wa sallam tidaklah
berkata menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah berdasarkan
wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Kalaupun kita bisa
menerima bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman
salafi, sehingga kita cukup hanya menamakan diri dengan
istilah muslim saja, tanpa menisbatkan diri kepada Salafus
Shalih meskipun penisbatan tersebut merupakan penisbatan yang
mulia dan shahih. Lantas apakah dengan demikian orang-orang
yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari penamaan
terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab, thariqat-thariqat
mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar'i dan tidak
shahih?
"Cukuplah bagimu perbedaan diantara kita ini.
Dan setiap bejana akan memancarkan air yang ada di dalamnya."
Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan
Dialah tempat meminta pertolongan. (Majalah Salafy- Edisi
Perdana/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal
8-10)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=106
|
0 komentar:
Posting Komentar