Inilah Da'wah Salaf
(Side B) Penulis: Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albany/Al-manhaj.com Manhaj, 19 -
Juni - 2003, 01:07:20
Lanjutan (Side B) Saya akan menghadirkan
beberapa contoh untuk menjelaskan pembicaraan ini, yang mana
ini merupakan poin penting, yang mana hal itu adalah
(mengikuti) manhaj Salafus Shalih. Ada sebuah pernyataan
yang diriwayatkan dari Al-Faruq Umar ibn`l Khatthab
Radhiyallahu`anhu, yang mengatakan: Jika orang-orang ahlul
bid`ah dan ahlul ahwa` mendebatmu dengan Al-Qur`an, maka
debatlah mereka dengan sunnah Apa yang menjadikan Umar
Radhiyallahu`anhu membuat pernyataan demikian Ini karena
firman Allah yang mana Dia berbicara pada Nabi : ?Dan Kami
telah turunkan Adz-Dzikr (Sunnah) agar kamu (Wahai Muhammad)
memberi penjelasan pada orang-orang terhadap apa yang telah
diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkan.?
[An-Nahl: 44] Apakah seorang muslim, yang mengetahui
secara mendalam bahasa Arab, mengetahui tata bahasa dan
aturannya, apakah orang ini mampu memahami Al-Qur`an tanpa
menggunakan cara Rasul kita (Shalallahu ?alaihi wasallam)
Jawabannya adalah tidak. Dan jika ini bukan begitu, maka
firman Allah ?supaya kamu (wahai Muhammad) memberikan
penjelasan pada manusia akan apa-apa yang telah diturunkan
pada mereka? tidak akan memiliki makna apa-apa. Dan ucapan
Allah hampa dari ketidakbermaknaan padanya. Maka dari itu,
siapapun yang ingin memahami Al-Qur`an dengan cara selain cara
Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam) , dia telah sesat
dengan jauh. Lebih jauh lagi, apakah orang yang sama ini
(yang disebutkan di atas) mampu untuk mengerti Al-Qur`an dan
As-Sunnah melalui selain cara para shahabat Rasulullah.
Jawabannya adalah tidak. Ini dikarenakan, mereka (para
shahabat) adalah orang-orang yang meneruskan pada kita,
pertama ayat-ayat Al-Qur`an, kedua, mereka meneruskan pada
kita, penjelasan Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam)
(terhadap Al-Qur`an), yang telah disebut di ayat yang
sebelumnya sebagaimana juga pengamalan beliau terhadap
Al-Qur`an Al-Karim ini. Penjelasan Rasulullah (Shalallahu
?alaihi wasallam) (terhadap Al-Qur`an) dapat dibagi menjadi 3
kategori: 1) ucapan, 2) perbuatan, dan 3) persetujuan (dengan
diam). Siapa orang-orang yang meneruskan (pada kita) ucapan
beliau ((Shalallahu ?alaihi wasallam)) shahabatnya. Siapa
orang yang meneruskan (pada kita) perbuatan beliau
((Shalallahu ?alaihi wasallam)) shahabat beliau. Siapa yang
meneruskan (pada kita) persetujuan dengan diamnya beliau
((Shalallahu ?alaihi wasallam)) shahabat beliau. Jadi karena
itulah, tidak mungkin bagi kita untuk tergantung semata-mata
pada kemampuan linguistik untuk memahami Al-Qur`an. Tapi ini
bukanlah berarti kita tidak membutuhkan bahasa (Arab) dalam
masalah ini, bukan. Inilah mengapa kita yakin dengan
sangat bahwa orang-orang yang berbicara dalam bahasa non-Arab,
yang tidak menguasai bahasa Arab, jatuh pada banyak, banyak
kesalahan. Hal ini juga terutama, mereka jatuh kepada
kesalahan fundamental ini, karena tidak kembali pada Salafus
Shalih dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah. Saya tidak
memaksudkan dengan perkataan saya tadi bahwa kita tidak bisa
bergantung pada bahasa (Arab) dalam menjelaskan Al-Qur`an.
Bagaimana bisa karena jika kita mau memahami kata-kata
bahasa Arab, maka tanpa ragu, kita harus memahami bahasa Arab.
Begitu pula, untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah, seseorang
harus mengetahui bahasa Arab. Jadi kami katakan bahwa
penjelasan Rasul , yang disebutkan dalam ayat sebelumnya,
dibagi menjadi 3 kategori: ucapan, perbuatan, dan persetujuan
dengan diam. Kami akan hadirkan satu contoh, untuk memahamkan
bahwa pembagian ini adalah kenyataan yang ada, yang tidak bisa
diingkari. Allah berfirman: ?Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya ?
[Al-Ma`idah: 38]? Lihatlah sekarang bagaimana tak mungkin
bagi kita menjelaskan Al-Qur`ann berdasarkan bahasa saja.
Pencuri, menurut bahasa adalah seseorang yang mencuri harta
benda dari tempat-tempat terlarang, tak memandang apakah benda
tersebut bernilai atau tidak. Misalnya seseorang mencuri
sebutir telur dan sepotong roti ini menurut bahasa (Arab)
dianggap sebagai pencuri. Allah berfirman ?Dan (bagi) pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.?
Apakah setiap orang yang mencuri harus dipotong tangannya
Jawabnya tidak. Kenapa? Ini karena orang yang menjelaskannya
(yaitu Nabi), yang bertugas menjelaskan yang sedang dijelaskan
adalah Al-Qur`an. Beliau bersabda: ?Jangan potong tangan
kecuali untuk (seseorang yang mencuri) seperempat dinar dan
apa yang di atasnya.? Jadi siapapun yang mencuri sesuatu
yang kurang dari seperempat dinar, meskipun menurut bahasa dia
disebut pencuri, tapi dia tidak dianggap pencuri menurut
definisi Syar`i. Jadi di sini, kita sampai pada realita
yang berdasarkan `Ilmu, yang banyak tholabul `Ilmi tidak
waspada. Pada satu sisi kita punya bahasa Arab, yang telah
diturunkan dari generasi ke generasi. Dan pada sisi lain,
kita punya bahasa syar`i, yang Allah sendiri telah
mengistilahkannya, dan menjelaskannya, yang orang-orang Arab
berbicara dalam bahasa Al-Qur`an (yaitu bahasa Arab), dan
Al-Qur`an yang diturunkan pada mereka- tidak waspada
sebelumnya. Jadi jika pencuri ini diterapkan menurut
bahasa (Arab), ini mencakup semua pencuri. Tapi jika pencuri
ini disebutkan menurut istilah syar`i, maka tak semua pencuri
termasuk, melainkan hanya mereka yang mencuri apa yang setara
dengan seperempat dinar dan apa-apa yang ada di atasnya.
Maka ini adalah sebuah contoh aktual yang tidak mungkin
bagi kita untuk tergantung semata-mata dengan pengetahuan
bahasa Arab dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini adalah
kesalahan yang banyak penulis-penulis kontemporer terjatuh
padanya sekarang ini. Mereka meletakkan pengetahuan bahasa
Arab di atas ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits nabi. Jadi mereka
memahami teks-teks syar`i ini dan datang dengan pemahaman
bid`ah, yang ummat Islam belum pernah dengar di masa lalu.
Karena ini kami katakan, adalah kewajiban, untuk mengerti
bahwa da`wah yang sebenarnya kepada Islam, berdasarkan 3
prinsip dan dasar fundamental, yaitu 1) Al-Qur`an, 2)
As-Sunnah, dan 3) Jalan pemahaman Salafus Shalih. Sehingga
ayat ?Dan (bagi) tiap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan?
bukan untuk dipahami menurut persyaratan bahasa, melainkan
persyaratan bahasa syar`i, yang menyatakan: ?Jangan potong
tangan kecuali untuk (seseorang yang mencuri) seperempat dinar
dan apa-apa yang ada di atasnya.? Kalimat berikutnya dari
ayat tersebut menyatakan: ?Potonglah tangan-tangan mereka.?
Apa itu tangan menurut bahasa? Semua ini dianggap tangan ?
Dari ujung jari sampai ketiak- semua ini adalah tangan. Jadi
apakah tangan tersebut harus dipotong dari sini atau dari sini
atau dari sini? Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam)
telah menjelaskan ini pada kita dengan perbuatan beliau [yaitu
untuk dipotong dari pergelangan tangannya]. Kita tidak punya
hadits yang secara jelas mendefinisikan dari tempat mana kita
harus memotong, dari penjelasan Rasul lewat ucapan. Namun,
diungkapkan penjelasan beliau lewat perbuatan Aplikasi fisik
beliau. Bagaimana kita bisa tahu penerapan ini (?) dari
Salafus Shalih kita para shahabat nabi . Ini adalah kategori
kedua, yakni penjelasan oleh perbuatan. Yang ketiga adalah
persetujuan Rasul untuk sesuatu yg tidak dia tolak atau
larang. Persetujuan ini bukanlah ucapan beliau atau perbuatan
yang datang dari beliau, melainkan perbuatan orang lain, yang
beliau lihat dan setujui. Jadi jika Rasul melihat sesuatu
dan beliau tetap diam tentangnya, menyetujuinya, hal itu
menjadi sesuatu yang disetujui dan diizinkan. Tapi jika beliau
melihat sesuatu dan menolaknya, walaupun hal ini dilakukan
oleh beberapa shahabat beliau, akan secara shahih tercantum
dalam teks bahwa beliau melarangnya, maka larangan ini
mendahului apa yang telah beliau setujui. Saya akan
memberi contoh untuk 2 hal ini, berdasarkan hadits-hadits.
`Abdulloh Ibn Umar Ibn`l Khatthab rodhiyallahu`anhu
berkata: ?kami biasa minum ketika berdiri dan makan ketika
berjalan selama hidup Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam)
.? Jadi di dalam hadits ini, `Abdulloh telah
menginformasikan kita 2 hal: 1) Minum sambil berdiri, dan 2)
Makan sambil jalan. Dan dia menyatakan bahwa kedua hal ini
dilakukan ketika masa Nabi . Jadi apa fiqih terhadap 2 masalah
ini: minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan Jika
kita terapkan poin-poin yang telah kita sebut sebelumnya, kita
mampu menurunkan hukumnya tentu saja- dengan penambahan yang
diperlukan padanya, yang mana seseorang tahu tentang apa yang
Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam) telah larang, melalui
ucapan, perbuatan, dan persetujuan (dengan diam). Jadi
jika kita kembali pada sunnah shahih, mengenai apa yang
berkaitan dengan masalah pertama (minum sambil berdiri), yang
banyak muslim, jika bukan mayoritasnya mereka, melakukannya
sekarang ini. Dan ini berlawanan dengan ucapan Rasulullah
(Shalallahu ?alaihi wasallam) tentang minum sambil berdiri.
Mereka minum sambil berdiri, mereka (yakni manusia) memakai
emas, dan sutra. Ini adalah fakta yang tidak bisa diingkari.
Tapi apakah Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam) setuju
dengan semua ini Jawabannya adalah beliau beberapa dan
melarang beberapa. Jadi apapun yang beliau larang maka jatuh
pada batas kejahatan (munkar) dan apapun yang beliau setujui,
maka masuk ke dalam batas kebaikan (ma`ruf). Beliau melarang
minum sambil berdiri dalam banyak hadits. Dan saya tidak mau
terlalu jauh dalam menyebutkan semuanya, jadi pertama-tama,
kita tidak beralih dari waktu yang kita batasi bagi kita untuk
mendiskusikan topik ini sehingga kita bisa menjawab beberapa
pertanyaan pada akhir acara dan kedua, permasalahan ini butuh
majlis khusus untuknya. Cukup untuk menghadirkan satu
hadits shahih, yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
shahihnya, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu`anhu,
yang berkata: ?Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam)
melarang minum sambil berdiri.? Dan pada riwayat lain
[dari hadits], dia berkata: ?Rasulullah (Shalallahu ?alaihi
wasallam) melarang dari minum sambil berdiri.? Maka dari
itu, hal yang biasa dilakukan selama masa Rasulullah
(Shalallahu ?alaihi wasallam), sebagaimana oleh Ibnu `Umar,
adalah terabaikan dan terlarang. Jadi hal yang biasa mereka
lakukan menjadi terlarang, berdasarkan pelarangan nabi
terhadapnya . Tapi bagian kedua dari hadits (Ibnu `Umar),
yang menyatakan bahwa mereka biasa makan sambil berdiri, kami
tidak mendapatkan riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah
(Shalallahu ?alaihi wasallam) melarangnya. Jadi kami
turunkan dari persetujuan (dengan diam) ini, sebuah fiqih
(aturan syar`i). Sampai disini, kita telah menyadari kebutuhan
yang sangat untuk bergantung pada jalannya Salafus Shalih
untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan tidak seorangpun
dapat bergantung pada pengetahuannya, jika ini tidak bisa
dikatakan kebodohannya, dalam memahami Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Setelah memperjelas permasalahan penting di
atas manhaj Salafus Shalih ini, saya harus memberi kalian
beberapa contoh. Di masa lalu, muslimin terpecah menjadi
banyak sekte. Kalian dengar tentang Mu`tazilah , kalian
dengar tentang Murji`ah, kalian dengar tentang Khawarij ,
kalian dengar tentang Zaidiyyah , belum lagi Syi`ah dan
Rafidhah , dan lain-lain. Tidak ada di antara
kelompok-kelompok ini, tanpa memandang seberapa dalam
kesesatan mereka, bahwa tidaklah berbagi ucapan yang sama
sebagaimana muslimin yang lainnya, yaitu: ?Kami berada di atas
Al-Qur`an dan As-Sunnah.? Tidak seorangpun di antara mereka
mengatakan: ?Kami tidak mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah.?
Dan jika satu dari mereka mengatakannya, dia akan
benar-benar keluar dari lipatan Islam. Jadi kenapa mereka
berpecah belah selama mereka berpegang pada Al-Qur`an dan
As-Sunnah dan saya bersaksi bahwa mereka bersandar pada
Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pendukung. Tapi bagaimana
penyandaran ini dilakukan? Penyandaran ini dilakukan tanpa
bersandar pada dasar ketiga, yang para Salafus Shalih ada di
atasnya. Dan ada poin tambahan lain yang perlu dicatat di
sini dan itu adalah bahwa As-Sunnah sangat berbeda dari
Al-Qur`an Al-Karim dalam hal bahwa Al-Qur`an Al-Karim berupa
mush.haf, dan ini seperti yang dikenal baik oleh semua orang.
Dalam masalah sunnah, maka untuk banyak bagiannya,
tersebar dalam ratusan, kalau bukan ribuan buku, di antaranya
berada dalam bagian yang paling banyak yang tetap tersembunyi
manuskrip yang tidak tercetak. Lebih jauh lagi, bahkan
buku-buku dari mereka ini yang dicetak sekarang ini, ada
hadits-hadits yang shahih dan lemah. Jadi siapa yang berpegang
pada As-Sunnah sebagai penyokong, baik mereka yang menisbatkan
diri pada Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan metodologi Salafus
Shalih atau mereka dari kelompok lain kebanyakan mereka tidak
bisa membedakan hadits shahih dari yang lemah. Mereka
terjatuh kepada pertentangan dan kontradiksi Al-Qur`an dan
As-Sunnah karena penyandaran mereka pada hadits-hadits lemah
dan palsu. Intinya bahwa kelompok ini yang baru saja kita
sebutkan, menolak arti literal yang tercantum dalam Al-Qur`an
dan Hadits Nabawy, di masa lalu dan juga masa kini. [sebagai
contoh] Al-Qur`an menetapkan dan memberikan pahala pada
orang-orang mukmin dari nikmat yang sangat besar yang akan
mereka terima di surga, yaitu Robb semesta alam akan
memperlihatkan DiriNYA pada mereka dan mereka akan melihatNYA.
Sebagaimana dinyatakan seorang Ulama Salaf:
?Orang-orang mukmin akan melihatNYA, (kami percaya ini)
tanpa berkata bagaimana itu bisa dilakukan atau membuat
permisalannya atau memberi contohnya.? Bukti-bukti
tekstual dari Al-Qur`an dan As-Sunnah menyatakannya. Jadi
bagaimana beberapa firqoh masa lalu dan sekarang ini,
mengingkari berkah yang besar ini? Dan untuk kelompok-kelompok
di masa lalu yang menolak melihat (Allah) ini, adalah
mu`tazilah. Sekarang ini, menurut apa yang saya ketahui,
tidak ditemukan kelompok apapun di muka bumi ini yang berkata
?Kami adalah mu`tazilah, kami mengikuti iman mu`tazilah.?
Bagaimanapun, saya melihat seorang bodoh yang mengumumkan
bahwa dialah mu`tazily. Dan dia menolak banyak fakta-fakta
yang ada dari agama karena dia tergesa-gesa. Jadi mu`tazilah
ini menolak berkah terbesar ini dan mereka berkata dengan akal
mereka yang lemah: ?Tidak mungkin Allah dapat dilihat!? Jadi
apa yang mereka lakukan? Apakah mereka menolak Al-Qur`an Allah
berfirman dalam Al-Qur`an: ?Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka
melihat.? [Al-Qiyamah: 22-23] Apakah mereka menolak ayat
ini? Tidak, mereka tidak menolaknya atau mengingkarinya atau
tida mempercayainya. Sampai sekarang, aturan Ahlus Sunnah
sejati adalah bahwa mu`tazilah berada di atas kesesatan tapi
tidak menyebabkan mereka keluar dari Islam. Ini karena tidak
menolak ayat ini, tapi mereka menolak makna sebenarnya, yang
mana penjelasannya telah dinyatakan dalam As-Sunnah, jika kita
ingat. Allah berfirman tentang orang-orang mukmin yang akan
memmasuki surga: ?Wajah-wajah (orang orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka melihat.?
Kemudian mereka mengubah maknanya mereka percaya pada
perkataan ayat tapi mengingkari maknanya. Dan perkataan,
sebagaimana dikatakan oleh para Ulama, adalah pembentuk makna.
Jadi kita percaya pada perkataan tapi tidak percaya pada
maknanya, maka Iman yang seperti ini tidak mengenyangkan
terhadap rasa lapar [yakni tidak memberi bermanfaat]. Jadi
kenapa orang-orang ini menolak melihat Allah Pikiran mereka
tersempitkan dari pembayangan dan penggambaran bahwa hamba
ini, yang diciptakan dan terbatas, mampu melihat Allah secara
terang-terangan, sama dengan ketika Yahudi meminta Mussa
(untuk melihat Allah), sehingga Allah mencegah mereka,
sebagaimana ditemukan di dalam kisah yang terkenal [lihat
surat Al-Baqoroh: 55-59, Allah berfirman pada Musa]:
?Lihatlah kepada bukit itu, maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihatKU.?
[Al-A`rof: 143] Akal mereka tersempitkan sehingga mereka
merasa harus bermain-main dengan teks Qur`any dan mengubah
maknanya. Kenapa (?) karena iman mereka terhadap yang
ghaib itu lemah dan iman mereka terhadap akal mereka lebih
kuat daripada iman mereka terhadap yang ghaib yang mana mereka
diperintahkan untuk beriman padanya, di permulaan surat
Al-Baqoroh: ?Alif Lam Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada
keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa
?(siapa mereka?)- Mereka yang beriman pada yang ghaib.?
[Al-Baqoroh: 1-3] Allah itu ghaib, jadi kapanpun Robb kita
berkata tentang DiriNYA, kita harus menegaskan bahwa itu benar
dan kita harus percaya padanya, karena akal kita sangat
terbatas. Mu`tazilah tidak mengakui poin ini, sehingga
itulah kenapa mereka mengingkari dan menolak banyak fakta yang
ada dalam agama, seperti firman Allah: wajah-wajah pada hari
itu akan cerah, memandang Robb mereka. Ini juga sama untuk
ayat lain, yang lebih tidak jelas dengan orang-orang ini
daripada ayat pertama, dan ini adalah perkataan Allah:
?Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang
terbaik (Al-Husna) dan tambahannya (Az-Ziyadah).? [Yunus: 26]
Al-Husna di sini merujuk pada surga, dan ziyadah di sini
berarti, melihat Allah di hari akhir. Inilah apa yang
dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan dari shahih Muslim,
dengan isnad yang shahih dari Sa`id Ibn Abi Waqqash
radhiyallahu`anhu, yang berkata: Rasulullah (Shalallahu
?alaihi wasallam) bersabda: ?Untuk mereka yang melakukan
kebaikan, mereka akan menerima Al-Husna (berarti) surga- dan
ziyadah (berarti) melihat Allah.? Mu`tazilah dan juga
syi`ah, yang mu`tazilah dalam aqidahnya, menolak bahwa Allah
akan dilihat, yang telah ditegaskan pada ayat pertama dan
dijelaskan oleh Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam) di
ayat kedua. Dan ada banyak hadits (mencapai tingkatan
mutawatir) dari Nabi tentang ini. Tamtsil (pengalihan
makna sebenarnya) mereka dari Al-Qur`an telah membawa mereka
kepada menolak hadits-hadits shahih dari Rasulullah
(Shalallahu ?alaihi wasallam) . Jadi mereka meninggalkan dari
batasan-batasan untuk dianggap sebagai Firqoh Najiyah ?yang
aku dan shahabatku ada di atasnya. Rasulullah (Shalallahu
?alaihi wasallam) percaya dan memiliki keimanan yang kokoh
bahwa mukminin akan melihat Rabb mereka, karena diriwayatkan
dalam 2 shahih dari riwayat banyak shahabat, seperti Abu Sa`id
Al-Khudry, Anas bin Malik dan di luar 2 shahih- ada Abu Bakr
Ash-Shiddiq dan seterusnya. Rasulullah (Shalallahu ?alaihi
wasallam) bersabda: ?Sesungguhnya kalian akan melihat Robb
kalian di hari pembalasan, seperti kalian melihat bulan di
langit (yang cerah) yang mana bulan purnama kalian tidak akan
kesulitan melihatnya.? Apa yang dimaksud di sini adalah
kalian tidak akan kesulitan melihat Allah sebagaimana tidak
kesulitan melihat bulan pada malam cerah yang mana ada bulan
purnama, tanpa awan. Mereka menolak hadits-hadits ini
berdasarkan akal-akal mereka, sehingga mereka memiliki iman
yang lemah. Inilah satu contoh dari perkara-perkara yang
beberapa firqoh di masa lalu terjatuh padanya juga. Dari
tingkatan mereka adalah Ibadiyyah yang sekarang ini aktif
menyeru orang-orang kepada kesesatan mereka. Mereka
memiliki artikel-artikel dan risalah-risalah yang disebarkan
dan dibagikan, yang mana mereka menghidupkan kembali banyak
kesesatan, yang khawarij diketahui karena (melakukan)nya di
masa lalu, seperti penolakan mereka bahwa Allah akan nampak di
surga .
Sekarang kami akan menghadirkan kalian dengan
contoh masa kini, yaitu Qadiyany . Mungkin kalian pernah
mendengar mereka. Orang-orang ini mengatakan sebagaimana kita
berkata: ?Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak
diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad itu utusan Allah.?
Mereka shalat 5 kali dalam sehari, mereka mengadakan
shalat Jum`at, mereka berhaji dan umroh ke rumah suci Allah.
Tidak ada beda antara kita dengan mereka mereka seperti halnya
muslim. Tetapi, mereka berbeda dengan kita dalam banyak
perkara aqidah, seperti kepercayaan mereka bahwa kenabian
tidak berakhir. Mereka percaya bahwa nabi-nabi akan datang
setelah Muhammad dan mereka mengklain bahwa seorang dari
mereka telah datang ke Qadiyan, suatu negeri di India.
Sehingga (mereka berkata bahwa) seseorang yang tidak percaya
pada nabi ini yang datang pada mereka, maka dia adalah seorang
kafir. Bagaimana mereka bisa berkata begini, sedangkan ayatnya
jelas: ?Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah
(Shalallahu ?alaihi wasallam) dan penutup nabi-nabi.?
[Al-Ahzab: 40] Bagaimana mereka mengatakannya, sementara
hadits-hadits telah mencapai tingkatan tawatir, (menyatakan):
?tidak ada nabi setelahku.? Jadi mereka mengubah makna
Al-Qur`an dan As-Sunnah dan mereka tidak menafsirkan Al-Qur`an
dan As-Sunnah sebagaimana para Salafus Shalih menafsirkan
keduanya. Sehingga muslimin juga mengikuti mereka dalam
perkara itu tanpa ketaksetujuan apapun yang terjadi di antara
mereka, sampai datang orang menyimpang dan sesat ini, bernama
Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyany yang mengaku sebagai nabi. Dan
dia memiliki kisah yang panjang, yang bukan merupakan fokus
dari subjek kita sekarang. Sehingga dia menipu banyak orang
yang tidak berilmu terhadap fakta-fakta ini, yang melindungi
muslimin dari tersesat, sebagaimana Qadiyany ini menyimpang
dengan Dajjal ini yang mengakui kenabian untuknya. Apa
yang mereka lakukan dengan firman Allah: ?tetapi dia adalah
Rasulullah (Shalallahu ?alaihi wasallam) dan penutup
nabi-nabi.? Mereka berkata bahwa ini bukan berarti tidak ada
nabi setelah beliau, melainkan ucapan khatam merujuk pada
perhiasan nabi. Seperti halnya khatam ini (segel atau
cincin) adalah hiasan jari, maka seperti itu pula, Muhammad
adalah perhiasan para nabi. Maka dengan begitu mereka tidak
mengkufuri ayat tersebut. Mereka tidak berkata bahwa Allah
tidak mewahyukan ayat ini ke dalam hati Muhammad. Melainkan
mereka kufur terhadap makna aslinya. Jadi apa yang baik adalah
beriman dalam perkataan jika tidak ada keimanan dalam makna
aslinya. Jika kamu tidak ragu terhadap fakta ini, maka apa
jalan untuk mengetahui makna Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kalian
telah tahu jalannya. Bukanlah bagi kita untuk bersandar pada
pengetahuan bahasa Arab, atau untuk menafsirkan Al-Qur`an dan
As-Sunnah dengan keinginan kita atau tradisi kita, atau taklid
kita, atau madzhab kita, atau perintah (Sufy) kita, melainkan,
satu-satunya jalan adalah sebagaimana dikatakan secara umum,
dan aku akan menutup ceramahku dengan ini: ?Dan setiap
kebaikan adalah dalam mengikuti Salaf. Sedangkan setiap
keburukan adalah bid`ahnya khalaf.? Kami harap ini sebagai
suatu pengingat terhadap mereka yang memiliki hati atau yang
menggunakan pendengarannya sementara mereka menyaksikan. [Qaf:
37] Sumber: Sebuah Kaset yang berjudul Hadzihi Da`watuna (ini
da`wah kami), yang direkam dalam bahasa Arab dan didistribusi
oleh Syuur Lil Intaaj Al-Islamy, dan kemudian diterjemahkan
dan ditulis ke dalam bahasa Inggris oleh al-manhaj.com.
Artikel ini merupakan terjemahan yang telah diedit dari kaset
sebenarnya untuk bacaan yang lebih baik. (Diterjemahkan: ke
dalam format artikel (bahasa Inggris) oleh Abu Maryam).
Diproduksi oleh
al-manhaj.com
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=29
|
0 komentar:
Posting Komentar